Sekali CintaTetap Cinta

Malam itu, aku tengah membiarkan jemariku terus menari di atas tuts keyboard laptop kesayanganku. Begitu gancang ia menstransfer sesuatu yang ada dalam otakku. Huruf demi huruf pun tersusun rapi menggambarkan isi hati dan pikiranku saat itu.

Tiba-tiba, dering handphone membuyarkan konsentrasi. Ia seakan memaksa jemariku untuk berhenti dan menyuruhnya segera meraih benda yang berada tidak jauh dari sisiku. Mulanya, kuabaikan dering handphone yang terus menyanyikan lirik lagu Terlanjur Cinta milik Rossa dan Pasha. Ah, suara mereka begitu merdu hingga semakin meneguhkan jemariku agar tetap di tempatnya: di atas keyboard, lengkap sebagai backsong tulisanku.

“Hhhh, siapa lagi malam-malam telepon!” gerutuku. Aih, kulihat nama Sita muncul di layar handphone.

“Ada apa ya dia telepon selarut ini?” batinku kaget.

Demi memuaskan rasa penasaranku, segera kuterima panggilannya sembari melirik jam tembok yang menggantung di salah satu sisi kamarku. Pukul 01.00 am!!

“Ya Ta, ada apa?” tanyaku penasaran. “Belum tidur?”

“Maaf Wie, aku ganggu.”Terdengar suara isak dari seberang. ”Aku ke rumahmu ya besok. Pukul 06.00.”

“Ooh, iya, tapi kenapa suaramu...,”

“Tuuut...tuuuuuutttt...tuuuuuut....”

Belum sempat rasa ingin tahuku terpuaskan, sambungan telpon terputus. Aku terdiam sejenak. Mencoba menerka apa yang tengah dialami sahabat terbaikku itu. “Ya Allah, semoga tak terjadi apa-apa,” doaku dalam hati.

Kuenyahkan sementara rasa penasaran yang mengganggu pikiranku tentang Sita. Malam sudah begini larut. Mataku minta untuk dikatupkan. Otot-otot tubuhku pun sudah memaksa untuk dilenturkan. Segera kurebahkan ragaku. Tak lupa kuistirahatkan pula kekasih keduaku: laptop. Tak lama kemudian, bersatulah aku dalam keheningan dan pekat malam yang telah memelukku sedari bebarapa waktu lalu.

Lagi-lagi, HPku berdering. Dengan mata masih terpejam, jemariku meraba-raba sumber suara yang tak jauh dari jangkauanku. Dengan mata sebelah terpejam dan sebelah terbuka, samar-samar kubaca enam kata yang muncul di layar telepon genggam. “Wi, aku di depan rumahmu sekarang!”

Awalnya, aku tak sadar. Namun, beberapa saat kemudian, mataku terbelalak! “Apa?? Di depan rumah?? Sita di depan rumah?! Berarti sekarang jam 06.00 dong!! Ya Allah!!”

Aku segera loncat dari tempat tidur dan bergegas ke kamar mandi. Bukan karena Sita di depan rumah, tapi karena sadar belum shalat Subuh. Setelah wudhu, segera kurengkuh mukena dan perangkat shalat lainnya: sajadah. Eit, kulongok sejenak jam yang bertengger di dinding kamar. Jarum pendek merambat di angka tiga.

“Hahhh, pukul 03.00 pagi!! Ga salah??!” ungkapku tak percaya.

Kedua tanganku pun spontan menyapu-nyapu mata. “Benar pukul 03.00!!” sahutku meyakinkan. “Hhhhh....”

Setelah sadar saat itu masih pagi buta, aku teringat Sita yang sejak tadi kubiarkan menunggu di halaman rumah. Aku bergegas keluar membukakan pintu untuknya.

“Wie...,” lirihnya sambil cepat memelukku erat.

“Ya Allah, Ta,” ujarku empati melihat kondisinya. “Masuk, yuk.”

“Aku...”

Ucapannya terpotong oleh isak tangis yang tak tertahankan.

Kupapah Sita masuk karena terlihat begitu letih. Sengaja tak kuhujani dia dengan beribu pertanyaan. Kupeluk agar tenang. Kuantar dia berbaring di tempat tidurku. Lalu, kuselimuti tubuhnya yang rusak karena tak terpelihara.

Aku berbaring di sebelahnya. Jarum jam terus melaju. Aku masih bergeliat dengan pertanyaan-pertanyaan yang belum kutemukan jawabannya dari semalam tadi. Mencoba merasakan beban dan penderitaan yang dialami Sita. Mengapa Sita selarut ini ke rumahku? Dengan kondisi yang mengenaskan pula. Kupikir, Sita telah lelap dalam tidurnya. Dugaanku salah. Sita masih tersedu sedan. Dadanya seperti sesak oleh berjuta konflik.

“Ta, kenapa nangis terus?” tanyaku panik. “Cerita sama aku Ta...”

Sita masih membisu. Bergeming dengan tatapan kosong. Hatinya seakan menyimpan luka yang takkan pernah terobati oleh apa pun.

“A..aku... Aku sudah hancur Wie...,” ungkapnya. Dan, seketika itu juga tangisnya pecah.

“Hancur? Hancur kenapa, Ta?”

“Reza memukulimu lagi??”

“Dia menamparmu berkali-kali??”

“Atau dia selingkuh kembali??”

“Ayo, Ta jawab pertanyaanku!! Cerita, jangan diam aja...”

Aku semakin gelisah dibuatnya. Sita masih bergeming ditemani cucuran air mata yang tumpah. Isaknya semakin kentara mengisyaratkan betapa berat beban yang dipikulnya. Saking beratnya, dia seperti tak sanggup berkata-kata. Hanya lewat air mata dia bisa mengungkapkan kondisi hatinya. Aku terdiam sejenak. Sampai detik ini, aku belum tahu apa pun tentang masalah sahabatku. Kucoba menenangkannya agar dia mau bicara. Kulihat di beberapa bagian tubuhnya memar.

“Wie, aku mencintai Reza, suamiku,” tuturnya memecahkan keheningan.

“Aku tahu, Ta. Perasaanmu kini sama seperti lima tahun lalu. Dan aku tahu, itu tak akan pernah berubah.”

”A..ku menya..yanginya. Sang..aaat menya..yanginya, lebih dari a..ku menya..yangi diriku sendi..ri,” ujarnya terbata-bata sembari terisak pilu.

“Itu sudah seharusnya Ta. Kalian suami-istri.”

“A..ku men..cinta..inya.. Kemarin, ha..ri i..ini, e..sok, da..an sampai ka..pan pu..n...”

“Lalu, kenapa kamu seperti ini, Ta? Apa yang terjadi? Ayo, Ta, cerita sama aku... ”

Lagi-lagi Sita terdiam. Tatapannya kembali kosong. Kupandangi sahabatku dalam-dalam. Wajahnya pucat lesi dan bersimbah air mata. Mata dan pipinya tampak cekung. Tubuhnya lemas dan kurus tak terurus. Mata indahnya sembap. Pikirannya melayang entah ke mana. Sinar kebahagiaan yang dulu terpantul dari indra penglihatnya lenyap sudah. Senyum yang dulu senantiasa merekah pun kini sirna sudah. Tak henti-hentinya sahabatku itu tersengut-sengut. Sebegitu dahsyatnya luka di hati Sita. Satu kata yang dapat kubaca dari kondisi hatinya kini. Perih.

“Reza... men..jual a..ku ke sa..habatnya....”

Kata-kata terakhirnya bak petir di telingaku. Lidahku kelu. Tubuhku gemetar. Kaki dan tanganku pun lunglai. Aku mengerti sekarang.

Mencoba bertahan di atas puing-puing cinta yang tlah rapuh

Apa yang kugenggam tak mudah untuk aku lepaskan

Aku terlanjur cinta kepadamu

Dan tlah kuberikan sluruh hatiku

Tapi mengapa baru kini kau pertanyakan cintaku

Kini terlambat sudah untuk dipersalahkan

Karena skali cinta, aku tetap cinta

Category:

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

About Me

Foto saya
Perajut serpihan-serpihan aksara yang bergejolak dalam jiwa, bergolak, dan terserak dalam alam pikiran dan perasaan.