RANDI: Sang Pemecah Karang

Setelah jam kerja usai dan memastikan semua berkas, file, dan tumpukan buku-buku tebal yang berjejal di meja kerja tersusun dan tertata rapi, aku langsung bertolak meninggalkan kantor. Tak lupa, ku-turn off komputerku. Sejenak, kutatap langit sore itu. Ahh, cerah.

Kuayunkan langkah sembari senyum simpul ke beberapa ibu-ibu yang tengah asyik berbincang di pinggir jalan yang kebetulan melempar senyum pula padaku. Untunglah, bus yang mengantarku pulang tak harus kutunggu lama. Segera kunaiki metromini jurusan Duren Sawit-Cililitan. Tancaaap!!! Bus kecil ini pun melaju kencang. Menderu-deru di sepanjang jalan. Menukik tajam dan berulang kali menyalip kendaraan-kendaraan yang berpostur lebih kecil. “Hajaaar!!!!” seru sang sopir sembari terbahak-bahak. Edan, batinku kesal.

Di lampu merah UKI, aku turun. Kulangkahkan lagi kaki ini untuk melanjutkan perjalanan pulang dengan menyambung bus lain. Sambil menunggu, kulempar pandangan ke sekeliling. Ramai. Tatapanku tertahan pada seorang bocah kecil yang tengah duduk di pematang jalan. Tangannya menggenggam plastik. Dikeluarkannya isi plastik itu. Dan tenyata: uang receh. Logam demi logam dipindahkan dari tangan kanan ke tangan kirinya. Berhenti sejenak. Wajahnya muram. Tak lama kemudian, diraihnya gitar yang sedari tadi diletakkan di sisinya. Sambil menganguk-anggukan kepala dia terus bersenandung. Kali ini tersenyum, dan acapkali kakinya turut bergoyang mengikuti dawai-dawai gitar yang mengalun. Hingar bingar kendaraan dan hiruk pikuk pejalan menyamarkan suranya yang bahkan nyaris tak terdengar olehku.

Bus yang kutunggu sedari tadi pun belum juga menampakkan batang hidungnya. Padahal, langit kian gelap. Gemuruh petir mulai bersahut-sahutan pertanda hujan akan tumpah. Kuperhatikan bocah itu dari samping. Dia masih seperti yang kugambarkan: bernyanyi gembira. Tak tersurat di wajahnya rona kesedihan lagi. Sama sekali! Padahal, rambutnya tak teratur. Kakinya tak beralas. Kulitnya coklat kehitam-hitaman. Pasti karena terbakar panasnya matahari. Pakaiannya lusuh dan kotor. Tetapi sepertinya dia tidak peduli dengan semua itu!!

Tubuhnya yang kecil dan kurus dengan mantap mendekap gitar kecil yang usang di dadanya. Tangan kanan dan kirinya memeluk erat alat musik bersenar itu. Jemarinya dengan lincah menari di atas senar-senar gitar berwarna cokelat tua. Terciptalah harmonisasi irama nan syahdu. Diiringi komat kamit mulutnya yang berdendang riang. Bahagia.

Baru saja ingin kuhampiri, tiba-tiba langit menangis. Seketika itu juga aku berlindung di pedagang kaki lima yang lokasinya tak jauh dari tempatku berdiri. Kulihat anak itu masih berada di tempatnya. Hujan-hujanan.

“Namanya Randi, Mba,” ujar Pak Sardi, pedagang mie tempatku berteduh.
“Ya, Pak, maaf?”
“Itu lho Mba, bocah yang dari tadi Mba lihat itu.”
“Ooooh, Randi, ya,” ujarku menanggapi ucapannya sembari senyum. Rupanya, Pak Sardi tahu jika aku memerhatikan bocah itu sedari tadi.

“Kasihan, Mba. Masih kecil sudah harus berpayah-payah mencari sesuap nasi. Dari pagi sampai pagi lagi. Dari malam sampai malam lagi. Kalau tidak begitu, dia tidak makan. Padahal, umurnya baru sebelas tahun.”

“Kerja apa, Pak anak sekecil itu?”

“Menjual suara, Mba. Kadang, sehari cuma dapat lima ribu. Itu pun jika dia mulai ngamen dari pagi hingga pagi. Kalau kurang, ya dia jualan koran. Bahkan kadang, uangnya diminta preman-preman sini, Mba. Belum lagi jika harus dibentak dan ditendang trantib atau penumpang, dia bisa tidak dapat uang,” kisah lelaki tua itu.

“Ga dapat uang?? Trus makannya??”

“Ya, ga makan, Mba. Itu mah biasa untuk orang-orang seperti Randi. Sehari makan, sehari nggak. Kadang, ya saya kasih dia makan, tapi sering ditolak. Malu katanya tiap hari minta.”

Aku terdiam sesaat. Lidahku kelu. Anak itu sudah tahu artinya malu karena sering meminta.

“Trus, tinggalnya di mana, Pak?”

“Di mana-mana, Mba. Ga pasti. Beratap langit dan berlantai tanah.”

Lagi-lagi, aku terdiam sembari terus memandang anak kecil yang masih bersenandung gembira.

“Orang tuanya Pak? Kok bisa, anak seusia Randi dibiarkan bekerja seperti itu?”

“Ga ada yang tahu, Mba. Sejak bayi, dia dititipkan ke Pakde Nano. Pakde NaNo itu baik sekali, Mba. Dialah yang merawat Randi dari bayi. Kebetulan, rumah Pakde, biasa kita memanggilnya, dekat dengan rumah saya. Mulanya, si Randi itu tinggal di rumah Pakde, tetapi sejak dia meninggal, keluarganya mengusir Randi, Mba. Nyusahin aj, kata mereka.”

“Diusir, Pak? Tega banget!!”

“Iya, Mba. Pakde itu orang kaya raya, Mba. Tetapi meski kaya, dia nggak sombong dan nggak pelit sama kita-kita,” tutur Pak Sardi bergairah sembari tangannya menyajikan mie ayam untuk pembeli, ”Tidak jarang, dia ngasih santunan ke anak-anak yatim dan orang-orang tidak mampu. Beda dengan anak-anaknya, Mba, beda banget. Nah, pengusiran itu setelah Pakde meninggal karena sakit jantung, Mba. Anak-anaknya sibuk dengan diri mereka sendiri. Padahal waktu itu, umurnya baru delapan tahun,” lanjut laki-laki yang berperawakan gagah itu.

Langit masih terus menangis. Tangisnya kini bahkan lebih deras dari sebelumnya. Persis seperti hatiku saat mendengar cerita Pak Sardi tentang Randi. Malang sekali nasib bocah itu.

“Sekolahnya, Pak?”
“Yaaah, Mba lagi, Mbaa, buat makan aja susah, apalagi sekolah, ga kepikiran.”

Kulihat Randi masih duduk di trotoar sembari bernyanyi. Kali ini dia tidak ditemani gitar kesayangannya. Dia terus bersenandung dengan memukul-mukul kedua telapak tangannya ke paha. Tersenyum dan terus tersenyum.

“Dulu, dia pernah sekolah, itu pun SD, tapi nggak tamat karena Pakde keburu meninggal dan Randi keburu diusir. Tapi, Mba, Randi itu anak yang tidak pernah mau menyerah, lho. Dia berani melawan kerasnya hidup. Tak mau bergantung sama orang lain. Asal Mba tahu, dia tidak pernah mengeluh dengan kondisinya. Padahal, saya saja ya Mba yang sudah tua begini, kadang kerjaannya ngeluh dan ngeluh, Mba,” ujarnya sambil tertawa kecil. Mungkin karena malu dengan bocah tangguh itu.

“Satu lagi, Mba,” tutur Pak Sardi semangat, “Mba lihatkan gitar yang dipeluknya itu?” tanyanya sambil mengarahkan pandangan ke arah gitar Randi.

“Iya.”

“Gitar itu satu-satunya benda yang sangat disayanginya. Hanya dengan benda itu dia bisa menyambung hidup. Meski lusuh, gitar itu dari keringatnya sendiri, Mba. Dulu, gitar pertama pemberian Pakde dibanting hingga hancur oleh preman-preman di daerah sini. Ga ada yang berani menolong dia. Masalahnya klasik, Mba, tidak bisa setor. Dia amat terpukul dengan peristiwa itu, tapi langsung bangkit.”

Setor?? Aku masih terpaku mendengar cerita yang dituturkan Pak Sardi tentang bocah itu. Betapa hebatnya dia. Betapa kuatnya anak kecil yang masih belasan tahun dalam menghadapi kejamnya dunia yang semakin tak berpihak padanya. Hingga akhir cerita, pandanganku terus tertuju pada bocah tangguh itu. Memilukan. Ironis sekali dengan para pejabat tinggi negara yang berlomba-lomba mengoleksi mobil antik dan mewah. Juga mereka yang tega memakan uang rakyat demi kepentingan pribadi.

Ternyata, sebegitu beratnya peran yang harus dilakoni seorang anak berumur sebelas tahun itu, lebih berat dari peranku. Meski hidup ini keras dan ganas, dia tetap tegar. Sekuat tenaga memecah karang yang tegak dan congkak. Segenap jiwa menatap tajam ketimpangan yang membabi buta. Dalam masalah hidup, bisa jadi dia lebih mahir dariku. Tak dapat dipungkiri, banyak Randi Randi lain di sekelilingku, mungkin juga Anda. Yang dipaksa bergeliat dengan kesusahan dan kemiskinan.

Malam kian larut, meski hujan juga tak kunjung reda. Berat rasanya aku meninggalkan bocah itu. Sebatang kara dia hidup. Namun, apa daya, aku tak kuasa apa-apa. Aku pun pamit kepada Pak Sardi dan tak lupa mengucapkan banyak terima kasih karena telah berbagi pengalaman bocah itu denganku. Sebelum menyeruak ke jejalan penumpang bus, kuhampiri Randi. Lantas, kuberi dia apa yang bisa kuberikan sembari tersenyum dan berbisik, “Kamu hebat, Ran!!!”


Anak sekecil itu berkelahi dengan waktu
Demi satu impian yang kerap ganggu tidurmu
Anak sekecil itu tak sempat nikmati waktu
Dipaksa pecahkan karang
Lemah jarimu terkepal
[Iwan Fals, Sore Tugu Pancoran]

Category:

1 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

About Me

Foto saya
Perajut serpihan-serpihan aksara yang bergejolak dalam jiwa, bergolak, dan terserak dalam alam pikiran dan perasaan.