Bingkisan Idul Fitri yang Kuidamkan





/1/
Sore itu, matahari mulai meninggalkan singgasana. Pertanda senja segera tiba. Namun, pancaran cahayanya yang memukau masih menghiasi cakrawala. Entah mengapa, harmonisasi warna yang sungguh menakjubkan justru kian mengiris-ngiris batinku. Sisa-sisa sinarnya menghujam gumpalan awan sore yang terus berarak, layaknya pedang sang pendekar yang menancap jantung musuhnya.

Di tengah itu, burung-burung kecil saling berkejaran. Mungkinkah mereka sekelurga? Ah, betapa indah jika memang iya. Mereka menari lincah dan bernyanyi riang. Kulihat ada beberapa burung yang tertinggal dari gerombolannya. Bukannya dibiarkan, gerombolan itu justru menunggu burung-burung lain yang terbang lambat, jauh di belakang mereka. Sungguh membuatku iri. Kuamati lekat-lekat panorama yang memukau itu dari belakang jendela. Bibirku tersenyum, tapi perlahan-lahan hatiku gerimis. Pilu.

/2/
Tak kusadari titik-titik air menetes. Harusnya, aku berbahagia. Mestinya, aku bersemangat karena esok adalah hari kemenangan. Tapi, aku kerap seperti ini kala menjelang Idul Fitri: terdampar di ruang kecil yang sepi. Sendirian. Kuamati para tetangga dari balik bingkai jendela. Setiap orang bercengkerama dengan keluarga mereka masing-masing. Tertawa bahagia. Bersendau gurau. Atau sekadar jalan bersama ayah atau bundanya menyambut hari esok yang dinanti.

Kubalikkan tubuh. Seketika itu juga mataku menjelajahi setiap sudut kamar. Tak ada foto keluarga di kamarku. Hanya ada foto ayah dan aku. Itu pun 22 tahun silam saat aku berusia 5 th. Ayah memelukku hangat. Pandanganku terhenti pada sisi lemari. Ada sejumlah bingkisan menumpuk di sana. Memang, sejak tiga hari lalu satu demi satu parcel dari teman sejawat dan relasi berdatangan silih berganti. Ada yang besar juga ada yang kecil. Isinya pun beragam; mulai dari makanan, minuman, hingga parcel pecah belah.

Kuawasi satu per satu. Ternyata semua ada delapan, tapi belum satu pun bingkisan yang kusentuh. Melihat pengirimnya pun aku seperti enggan. Belum lagi kartu lebaran yang bertindih di meja kerjaku. Sejujurnya, bukan bingkisan itu yang kumau sejak berpuluh tahun silam.

Pandanganku kemudian mengarah pada sebuah meja yang bersebelahan dengan ranjang. Meja persegi panjang berwarna cokelat tua buatan kota ukir di Jawa Tengah. Aku tak pernah lupa. Meja itu adalah pemberian cuma-cuma dari sahabat ayah saat aku melakukan perjalanan ke Jepara lima tahun silam. Ukirannya yang unik dan –sepertinya rumit- juga kayu jati yang digunakan sebagai bahan dasar menandakan jika harga meja itu tidaklah murah.

“Bawalah, Ndo, meja ini untukmu. Ini tidak seberapa bila dibanding jasa ayahmu padaku dulu,” ujarnya lirih. “Anggap ini permohonan maafku karena belum sempat membalas kebaikan ayahmu, terlebih absen saat pemakamannya,” tuturnya sembari mengusap air mata yang tiba-tiba menitik.

Seketika itu juga, peristiwa tersebut seakan baru kemarin terjadi. “Ndo, jangan sungkan padaku. Anggap Pakde ini sebagai keluargamu. Datanglah ke mari kapan pun kamu mau. Pintu rumah Pakde terbuka untukmu, Ndo,” ucapnya sembari berkaca-kaca setelah bercerita panjang tentang hubungan yang terjalin erat antara dirinya dan ayah berpuluh-puluh tahun lalu. Pakde Joko adalah sahabat terdekat ayah. Banyak peristiwa yang mereka arungi bersama karena hampir separuh hidup ayah dilalui bersama beliau. Di usianya yang tak lagi muda, Pakde Joko masih giat bekerja. Mengurus mebel ukiran yang dibangunnya sejak 35 tahun lalu, bersama ayahku.

“Ibumu masih ada, tapi Pakde tak pernah tahu keberadaannya. Jangan pernah kau merasa hidup sebatang kara di dunia ini, Ndo. Sebelum kaumenemukan ibumu, ada Pakde yang menjadi keluargamu. Berkunjunglah ke mari. Kaumasih punya keluarga,” pintanya menguatkanku seakan tahu apa yang aku rasakan.

Namun, dua bulan yanglalu Pakde menyusul ayah. Tiba-tiba saja dadaku sesak. Air mata yang setadinya enggan keluar, kini tak terbendung. Isak tangis pun pecah di malam yang penuh gema takbir.

Ayahlah satu-satunya orang tua kandung yang merawatku sejak bercerai dengan ibu. Semenjak kecil, ayah merawat dan menghujaniku dengan penuh kasih sayang dan cinta, tak kurang sedikit pun. Hingga suatu hari, saat aku beranjak remaja, Ayah pergi selamanya, tanpa aku tahu di mana ibu kandungku berada. Aku pun tinggal dengan perempuan yang dinikahi ayah, itu pun hanya untuk beberapa tahun karena ibu keduaku pun menyusul ayah.

/4/
Masih di tempat yang sama: di balik jendela. Setelah sedikit puas menyisir seluruh ruangan, kubalikkan lagi tubuhku. Dengan wajah sembab, kubiarkan diri ini memandangi langit. Kini, matahari benar-benar telah tenggelam. Hari pun diselimuti gelap. Yang terdengar bukan lagi kicauan burung yang bernyanyi riang, melainkan gema takbir yang menggema di seluruh sudut kota. Menyayat dan mengaharu biru bagi sesiapa yang meresapinya.

Bertahun-tahun sudah aku mencari ibu, tapi tak pernah kutemui. Mengapa ibu tak pernah mencariku? Mengapa ibu tak peduli padaku? Atau mungkinkah ibu melupakanku? Ibu, tak tahu kah engkau jika anakmu ini rindu? Tak merasakah engkau jika darah dagingmu ini menderita karena cinta padamu? Tak mendengarkah engkau jika tiap malam aku menangis ingin dipeluk dan dicium olehmu? Sudah ribuan malam aku memimpikan menghabiskan hari raya bersamamu. Sudah milyaran jam aku mengidamkan dipeluk ibu, meski semenit.

Pertanyaan-pertanyaan itu tak pernah kudapatkan jawabannya sejak berpuluh tahun lalu, bahkan hingga kini. Dan, bingkisan yang selama ini kuidamkan tertuang dalam buku diaryku yang talah tertulis sejak puluhan tahun silam.

Aku hanya ingin ibuku, satu-satunya orangtua kandung yang kumiliki. Aku hanya mendambakan pelukan perempuan yang dulu mengandungku sebagai bingkisan terindah di hari yang fitri. Ciumannya, belaiannya, cumbunya, kasih sayang dan cintanya yang tak pernah kuterima sejak dulu. Aku haus akan semua itu.... Ibu, aku hampir terbunuh rindu. Selamat Idul Fitri, Bu...

Category: 0 komentar
Diberdayakan oleh Blogger.

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

About Me

Foto saya
Perajut serpihan-serpihan aksara yang bergejolak dalam jiwa, bergolak, dan terserak dalam alam pikiran dan perasaan.