Terngiang-Ngiang


Sejak kepergian sang Raja Pop, Michael Jackson, yang serba mendadak dan misterius, entah kenapa semua tentang dia yang kuketahui selalu memenuhi benakku. Tak ingin tertinggal satu pun berita baru yang bisa kudapatkan. Sejujurnya, aku bukanlah penggemar setianya. Penggemar yang selalu mengikuti perjalanan karirnya, juga kehidupan pribadinya, dari awal hingga akhir, atau apa pun itu.

Aku hanyalah aku yang tidak terlalu mengidolakan siapa pun. Tetapi, sejak mengetahui tragisnya kepergian sang Raja yang sangat menyedihkan, sungguh membuatku pilu. Aku
merasa kehilangan. Sedih, dan kadang gemetar. Entah mengapa, aku juga tidak tahu... Hari demi hari terus bergulir. Lima hari sudah Jacko pergi. Dan, aku semakin tak bisa untuk tidak mendengarkan sekali pun lagu-lagunya.

Kini, satu per satu lagunya terngiang lagi di hati, di pikiran, dan di seluruh waktuku... Suaranya, liriknya, musiknya, menyayat hati... Membuatku terdiam sejenak dari pekerjaanku. Selamat jalan Jacko, dunia kehilangan dirimu... Jerit tangis dunia dan ribuan bunga mengiringi kepergianmu...



Heal The World

There's a place in your heart, and I know that it is love
And this place could be much brighter than tomorrow
And if you really try, you'll find there's no need to cry
In this place you'll feel, there's no hurt or sorrow

There are ways to get there
If you care enough for the living
Make a little space, make a better place

Heal the world make it a better place
For you and for me and the entire human race
There are people dying if you care enough for the living
Make a better place for you and for me

If you want to know why, there's a love that cannot lie
Love is strong, it only cares for joyful giving if we try
We shall see in this bliss, we cannot feel fear or dread
We stop existing and start living
Then it feels that always love's enough for us growing
So make a better world, make a better world

And the dream we were conceived In will reveal a joyful face
And the world we once believed in will shine again in grace
Then why do we keep strangling life wound this earth crucify
Its soul though it's plain to see this world is heavenly be God's glow

We could fly so high let our spirits never die in my heart
I feel you are all my brothers create a world with no fear
Together we'll cry happy tears see the nations turn
Their swords into plowshares

We could really get there if you cared enough for the living
Make a little space, to make a better place

Category: 1 komentar

5 Tips Melamar Kerja


Duuuh, lagi mampet niiiih idenya, jadi aku masukin aj tips ini buat para pembaca. semoga bermanfaat yaaa...

Agar bisa diperhitungkan di tempat Anda melamar pekerjaan, Anda harus bisa memberikan sesuatu yang lebih. Tak hanya daftar riwayat hidup yang mengagumkan, tetapi juga harus bisa memberikan impresi yang positif saat wawancara kerja. Berikut adalah pesan tersirat yang bisa Anda sampaikan bahkan sebelum wawancara kerja, untuk menciptakan kesan bahwa Anda adalah calon karyawan yang patut dipekerjakan.

1. “Saya profesional”
Para pelamar kerja yang mengikuti proses aplikasi secara serius akan ditangani secara serupa oleh si pemberi kerja. Semisal, bacalah kembali materi surat lamaran Anda untuk kesalahan ketik atau kesalahan penulisan. Tak ada salahnya jika Anda minta tolong orang yang Anda percaya untuk membaca ulang surat lamaran dan CV Anda, sebagai tindakan pencegahan jika terjadi kesalahan penulisan. Juga, berhati-hatilah dengan penggunaan bahasa. Hindari penggunaan kata-kata informal, atau bahasa asing bila hal tersebut tak terlalu penting.

2. “Saya orang yang harus mencapai target”
Departemen HRD selalu dibanjiri lamaran pekerjaan dari sana-sini. Bisa jadi lamaran pekerjaan Anda hanya dilihat sekilas. Untuk menghadapi masalah tersebut, sebaiknya Anda mencoba ambil inisiatif. Semisal, jika Anda mengirimkan lamaran pekerjaan tanpa ada iklan atau apa pun, cantumkan kalimat penutup, seperti, “Saya menunggu tanggapan dari Bapak/Ibu.” Atau, untuk lebih proaktif, cantumkan, “Jika tidak mengganggu, saya akan menghubungi Bapak/Ibu pada hari Selasa, pukul 15.00, untuk mendiskusikan kemungkinan saya di posisi yang saya lamar.”
Anda juga bisa mencoba untuk menghubungi si manager personalia perihal lamaran Anda. Namun, jangan lakukan hal ini jika di media yang mengiklankan lowongan tersebut tercantum bahwa Anda tak diperbolehkan menghubungi mereka. Dengan menghubungi tempat kerja tersebut dalam jangka waktu 2 minggu pengiriman, Anda bisa memastikan apakah sebaiknya Anda menunggu atau mencoba yang lain.

3. “Saya adalah ahlinya”
Perusahaan di mana pun pastinya akan lebih senang jika mereka bisa mempekerjakan seseorang yang memiliki keahlian tinggi. Anda bisa juga mencantumkan berbagai keahlian dan sertifikat yang Anda miliki, dan berkaitan dengan pekerjaan yang Anda incar tadi. Jangan lupa, jika Anda juga tergabung dengan asosiasi tertentu, cantumkanlah. Hal ini bisa membuat Anda bernilai tambah karena memiliki koneksi ke institusi tersebut, jika sewaktu-waktu diperlukan.

4. “Saya bisa mengurangi pengeluaran”
Di masa ekonomi seperti sekarang ini, banyak perusahaan yang mencari ragam cara untuk mengurangi pengeluaran. Jika Anda pernah memiliki kesuksesan memotong pengeluaran di perusahaan sebelumnya, terangkanlah cara Anda melakukannya di CV. Misalkan, ketika Anda melamar pekerjaan sebagai asisten administrasi. Anda bisa mencantumkan bahwa di perusahaan sebelumnya Anda pernah menegosiasikan ulang kontrak dengan pemasok alat-alat kantor, yang berakibat pada penghematan kantor tanpa perlu mengurangi kualitas dan kuantitas.

5. “Saya mampu memberikan apa yang dibutuhkan perusahaan”
Untuk menunjukkan bahwa Anda adalah karyawan terbaik, pastikan bahwa lamaran Anda ditargetkan untuk posisi yang spesifik. Gunakan kata-kata yang sekiranya tepat untuk posisi yang dilamar. Buat kata-kata seakurat mungkin yang mendeskripsikan pengalaman dan kualifikasi Anda. Kebanyakan perusahaan menggunakan program peranti lunak yang memindai kata-kata spesifik untuk kata-kata yang tepat dan spesifik yang berhubungan dengan posisi tertentu. Jadi, meskipun Anda cukup qualified untuk posisi tertentu, namun jika tidak menggunakan terminologi yang dicari, maka lamaran pekerjaan Anda mungkin tak akan dilihat.

Mengirimkan "pesan" tersirat kepada perusahaan yang Anda incar tak berarti menggaransikan bahwa Anda akan mendapatkan pekerjaannya. Namun, bisa meningkatkan peluang dipanggil untuk wawancara kerja. Nah, dari sana, Anda bisa memberikan kesan terbaik Anda. [www.kompas.com]

Category: 0 komentar

RANDI: Sang Pemecah Karang


Setelah jam kerja usai dan memastikan semua berkas, file, dan tumpukan buku-buku tebal yang berjejal di meja kerja tersusun dan tertata rapi, aku langsung bertolak meninggalkan kantor. Tak lupa, ku-turn off komputerku. Sejenak, kutatap langit sore itu. Ahh, cerah.

Kuayunkan langkah sembari senyum simpul ke beberapa ibu-ibu yang tengah asyik berbincang di pinggir jalan yang kebetulan melempar senyum pula padaku. Untunglah, bus yang mengantarku pulang tak harus kutunggu lama. Segera kunaiki metromini jurusan Duren Sawit-Cililitan. Tancaaap!!! Bus kecil ini pun melaju kencang. Menderu-deru di sepanjang jalan. Menukik tajam dan berulang kali menyalip kendaraan-kendaraan yang berpostur lebih kecil. “Hajaaar!!!!” seru sang sopir sembari terbahak-bahak. Edan, batinku kesal.

Di lampu merah UKI, aku turun. Kulangkahkan lagi kaki ini untuk melanjutkan perjalanan pulang dengan menyambung bus lain. Sambil menunggu, kulempar pandangan ke sekeliling. Ramai. Tatapanku tertahan pada seorang bocah kecil yang tengah duduk di pematang jalan. Tangannya menggenggam plastik. Dikeluarkannya isi plastik itu. Dan tenyata: uang receh. Logam demi logam dipindahkan dari tangan kanan ke tangan kirinya. Berhenti sejenak. Wajahnya muram. Tak lama kemudian, diraihnya gitar yang sedari tadi diletakkan di sisinya. Sambil menganguk-anggukan kepala dia terus bersenandung. Kali ini tersenyum, dan acapkali kakinya turut bergoyang mengikuti dawai-dawai gitar yang mengalun. Hingar bingar kendaraan dan hiruk pikuk pejalan menyamarkan suranya yang bahkan nyaris tak terdengar olehku.

Bus yang kutunggu sedari tadi pun belum juga menampakkan batang hidungnya. Padahal, langit kian gelap. Gemuruh petir mulai bersahut-sahutan pertanda hujan akan tumpah. Kuperhatikan bocah itu dari samping. Dia masih seperti yang kugambarkan: bernyanyi gembira. Tak tersurat di wajahnya rona kesedihan lagi. Sama sekali! Padahal, rambutnya tak teratur. Kakinya tak beralas. Kulitnya coklat kehitam-hitaman. Pasti karena terbakar panasnya matahari. Pakaiannya lusuh dan kotor. Tetapi sepertinya dia tidak peduli dengan semua itu!!

Tubuhnya yang kecil dan kurus dengan mantap mendekap gitar kecil yang usang di dadanya. Tangan kanan dan kirinya memeluk erat alat musik bersenar itu. Jemarinya dengan lincah menari di atas senar-senar gitar berwarna cokelat tua. Terciptalah harmonisasi irama nan syahdu. Diiringi komat kamit mulutnya yang berdendang riang. Bahagia.

Baru saja ingin kuhampiri, tiba-tiba langit menangis. Seketika itu juga aku berlindung di pedagang kaki lima yang lokasinya tak jauh dari tempatku berdiri. Kulihat anak itu masih berada di tempatnya. Hujan-hujanan.

“Namanya Randi, Mba,” ujar Pak Sardi, pedagang mie tempatku berteduh.
“Ya, Pak, maaf?”
“Itu lho Mba, bocah yang dari tadi Mba lihat itu.”
“Ooooh, Randi, ya,” ujarku menanggapi ucapannya sembari senyum. Rupanya, Pak Sardi tahu jika aku memerhatikan bocah itu sedari tadi.

“Kasihan, Mba. Masih kecil sudah harus berpayah-payah mencari sesuap nasi. Dari pagi sampai pagi lagi. Dari malam sampai malam lagi. Kalau tidak begitu, dia tidak makan. Padahal, umurnya baru sebelas tahun.”

“Kerja apa, Pak anak sekecil itu?”

“Menjual suara, Mba. Kadang, sehari cuma dapat lima ribu. Itu pun jika dia mulai ngamen dari pagi hingga pagi. Kalau kurang, ya dia jualan koran. Bahkan kadang, uangnya diminta preman-preman sini, Mba. Belum lagi jika harus dibentak dan ditendang trantib atau penumpang, dia bisa tidak dapat uang,” kisah lelaki tua itu.

“Ga dapat uang?? Trus makannya??”

“Ya, ga makan, Mba. Itu mah biasa untuk orang-orang seperti Randi. Sehari makan, sehari nggak. Kadang, ya saya kasih dia makan, tapi sering ditolak. Malu katanya tiap hari minta.”

Aku terdiam sesaat. Lidahku kelu. Anak itu sudah tahu artinya malu karena sering meminta.

“Trus, tinggalnya di mana, Pak?”

“Di mana-mana, Mba. Ga pasti. Beratap langit dan berlantai tanah.”

Lagi-lagi, aku terdiam sembari terus memandang anak kecil yang masih bersenandung gembira.

“Orang tuanya Pak? Kok bisa, anak seusia Randi dibiarkan bekerja seperti itu?”

“Ga ada yang tahu, Mba. Sejak bayi, dia dititipkan ke Pakde Nano. Pakde NaNo itu baik sekali, Mba. Dialah yang merawat Randi dari bayi. Kebetulan, rumah Pakde, biasa kita memanggilnya, dekat dengan rumah saya. Mulanya, si Randi itu tinggal di rumah Pakde, tetapi sejak dia meninggal, keluarganya mengusir Randi, Mba. Nyusahin aj, kata mereka.”

“Diusir, Pak? Tega banget!!”

“Iya, Mba. Pakde itu orang kaya raya, Mba. Tetapi meski kaya, dia nggak sombong dan nggak pelit sama kita-kita,” tutur Pak Sardi bergairah sembari tangannya menyajikan mie ayam untuk pembeli, ”Tidak jarang, dia ngasih santunan ke anak-anak yatim dan orang-orang tidak mampu. Beda dengan anak-anaknya, Mba, beda banget. Nah, pengusiran itu setelah Pakde meninggal karena sakit jantung, Mba. Anak-anaknya sibuk dengan diri mereka sendiri. Padahal waktu itu, umurnya baru delapan tahun,” lanjut laki-laki yang berperawakan gagah itu.

Langit masih terus menangis. Tangisnya kini bahkan lebih deras dari sebelumnya. Persis seperti hatiku saat mendengar cerita Pak Sardi tentang Randi. Malang sekali nasib bocah itu.

“Sekolahnya, Pak?”
“Yaaah, Mba lagi, Mbaa, buat makan aja susah, apalagi sekolah, ga kepikiran.”

Kulihat Randi masih duduk di trotoar sembari bernyanyi. Kali ini dia tidak ditemani gitar kesayangannya. Dia terus bersenandung dengan memukul-mukul kedua telapak tangannya ke paha. Tersenyum dan terus tersenyum.

“Dulu, dia pernah sekolah, itu pun SD, tapi nggak tamat karena Pakde keburu meninggal dan Randi keburu diusir. Tapi, Mba, Randi itu anak yang tidak pernah mau menyerah, lho. Dia berani melawan kerasnya hidup. Tak mau bergantung sama orang lain. Asal Mba tahu, dia tidak pernah mengeluh dengan kondisinya. Padahal, saya saja ya Mba yang sudah tua begini, kadang kerjaannya ngeluh dan ngeluh, Mba,” ujarnya sambil tertawa kecil. Mungkin karena malu dengan bocah tangguh itu.

“Satu lagi, Mba,” tutur Pak Sardi semangat, “Mba lihatkan gitar yang dipeluknya itu?” tanyanya sambil mengarahkan pandangan ke arah gitar Randi.

“Iya.”

“Gitar itu satu-satunya benda yang sangat disayanginya. Hanya dengan benda itu dia bisa menyambung hidup. Meski lusuh, gitar itu dari keringatnya sendiri, Mba. Dulu, gitar pertama pemberian Pakde dibanting hingga hancur oleh preman-preman di daerah sini. Ga ada yang berani menolong dia. Masalahnya klasik, Mba, tidak bisa setor. Dia amat terpukul dengan peristiwa itu, tapi langsung bangkit.”

Setor?? Aku masih terpaku mendengar cerita yang dituturkan Pak Sardi tentang bocah itu. Betapa hebatnya dia. Betapa kuatnya anak kecil yang masih belasan tahun dalam menghadapi kejamnya dunia yang semakin tak berpihak padanya. Hingga akhir cerita, pandanganku terus tertuju pada bocah tangguh itu. Memilukan. Ironis sekali dengan para pejabat tinggi negara yang berlomba-lomba mengoleksi mobil antik dan mewah. Juga mereka yang tega memakan uang rakyat demi kepentingan pribadi.

Ternyata, sebegitu beratnya peran yang harus dilakoni seorang anak berumur sebelas tahun itu, lebih berat dari peranku. Meski hidup ini keras dan ganas, dia tetap tegar. Sekuat tenaga memecah karang yang tegak dan congkak. Segenap jiwa menatap tajam ketimpangan yang membabi buta. Dalam masalah hidup, bisa jadi dia lebih mahir dariku. Tak dapat dipungkiri, banyak Randi Randi lain di sekelilingku, mungkin juga Anda. Yang dipaksa bergeliat dengan kesusahan dan kemiskinan.

Malam kian larut, meski hujan juga tak kunjung reda. Berat rasanya aku meninggalkan bocah itu. Sebatang kara dia hidup. Namun, apa daya, aku tak kuasa apa-apa. Aku pun pamit kepada Pak Sardi dan tak lupa mengucapkan banyak terima kasih karena telah berbagi pengalaman bocah itu denganku. Sebelum menyeruak ke jejalan penumpang bus, kuhampiri Randi. Lantas, kuberi dia apa yang bisa kuberikan sembari tersenyum dan berbisik, “Kamu hebat, Ran!!!”


Anak sekecil itu berkelahi dengan waktu
Demi satu impian yang kerap ganggu tidurmu
Anak sekecil itu tak sempat nikmati waktu
Dipaksa pecahkan karang
Lemah jarimu terkepal
[Iwan Fals, Sore Tugu Pancoran]

Category: 1 komentar

Sekali CintaTetap Cinta


Malam itu, aku tengah membiarkan jemariku terus menari di atas tuts keyboard laptop kesayanganku. Begitu gancang ia menstransfer sesuatu yang ada dalam otakku. Huruf demi huruf pun tersusun rapi menggambarkan isi hati dan pikiranku saat itu.

Tiba-tiba, dering handphone membuyarkan konsentrasi. Ia seakan memaksa jemariku untuk berhenti dan menyuruhnya segera meraih benda yang berada tidak jauh dari sisiku. Mulanya, kuabaikan dering handphone yang terus menyanyikan lirik lagu Terlanjur Cinta milik Rossa dan Pasha. Ah, suara mereka begitu merdu hingga semakin meneguhkan jemariku agar tetap di tempatnya: di atas keyboard, lengkap sebagai backsong tulisanku.

“Hhhh, siapa lagi malam-malam telepon!” gerutuku. Aih, kulihat nama Sita muncul di layar handphone.

“Ada apa ya dia telepon selarut ini?” batinku kaget.

Demi memuaskan rasa penasaranku, segera kuterima panggilannya sembari melirik jam tembok yang menggantung di salah satu sisi kamarku. Pukul 01.00 am!!

“Ya Ta, ada apa?” tanyaku penasaran. “Belum tidur?”

“Maaf Wie, aku ganggu.”Terdengar suara isak dari seberang. ”Aku ke rumahmu ya besok. Pukul 06.00.”

“Ooh, iya, tapi kenapa suaramu...,”

“Tuuut...tuuuuuutttt...tuuuuuut....”

Belum sempat rasa ingin tahuku terpuaskan, sambungan telpon terputus. Aku terdiam sejenak. Mencoba menerka apa yang tengah dialami sahabat terbaikku itu. “Ya Allah, semoga tak terjadi apa-apa,” doaku dalam hati.

Kuenyahkan sementara rasa penasaran yang mengganggu pikiranku tentang Sita. Malam sudah begini larut. Mataku minta untuk dikatupkan. Otot-otot tubuhku pun sudah memaksa untuk dilenturkan. Segera kurebahkan ragaku. Tak lupa kuistirahatkan pula kekasih keduaku: laptop. Tak lama kemudian, bersatulah aku dalam keheningan dan pekat malam yang telah memelukku sedari bebarapa waktu lalu.

Lagi-lagi, HPku berdering. Dengan mata masih terpejam, jemariku meraba-raba sumber suara yang tak jauh dari jangkauanku. Dengan mata sebelah terpejam dan sebelah terbuka, samar-samar kubaca enam kata yang muncul di layar telepon genggam. “Wi, aku di depan rumahmu sekarang!”

Awalnya, aku tak sadar. Namun, beberapa saat kemudian, mataku terbelalak! “Apa?? Di depan rumah?? Sita di depan rumah?! Berarti sekarang jam 06.00 dong!! Ya Allah!!”

Aku segera loncat dari tempat tidur dan bergegas ke kamar mandi. Bukan karena Sita di depan rumah, tapi karena sadar belum shalat Subuh. Setelah wudhu, segera kurengkuh mukena dan perangkat shalat lainnya: sajadah. Eit, kulongok sejenak jam yang bertengger di dinding kamar. Jarum pendek merambat di angka tiga.

“Hahhh, pukul 03.00 pagi!! Ga salah??!” ungkapku tak percaya.

Kedua tanganku pun spontan menyapu-nyapu mata. “Benar pukul 03.00!!” sahutku meyakinkan. “Hhhhh....”

Setelah sadar saat itu masih pagi buta, aku teringat Sita yang sejak tadi kubiarkan menunggu di halaman rumah. Aku bergegas keluar membukakan pintu untuknya.

“Wie...,” lirihnya sambil cepat memelukku erat.

“Ya Allah, Ta,” ujarku empati melihat kondisinya. “Masuk, yuk.”

“Aku...”

Ucapannya terpotong oleh isak tangis yang tak tertahankan.

Kupapah Sita masuk karena terlihat begitu letih. Sengaja tak kuhujani dia dengan beribu pertanyaan. Kupeluk agar tenang. Kuantar dia berbaring di tempat tidurku. Lalu, kuselimuti tubuhnya yang rusak karena tak terpelihara.

Aku berbaring di sebelahnya. Jarum jam terus melaju. Aku masih bergeliat dengan pertanyaan-pertanyaan yang belum kutemukan jawabannya dari semalam tadi. Mencoba merasakan beban dan penderitaan yang dialami Sita. Mengapa Sita selarut ini ke rumahku? Dengan kondisi yang mengenaskan pula. Kupikir, Sita telah lelap dalam tidurnya. Dugaanku salah. Sita masih tersedu sedan. Dadanya seperti sesak oleh berjuta konflik.

“Ta, kenapa nangis terus?” tanyaku panik. “Cerita sama aku Ta...”

Sita masih membisu. Bergeming dengan tatapan kosong. Hatinya seakan menyimpan luka yang takkan pernah terobati oleh apa pun.

“A..aku... Aku sudah hancur Wie...,” ungkapnya. Dan, seketika itu juga tangisnya pecah.

“Hancur? Hancur kenapa, Ta?”

“Reza memukulimu lagi??”

“Dia menamparmu berkali-kali??”

“Atau dia selingkuh kembali??”

“Ayo, Ta jawab pertanyaanku!! Cerita, jangan diam aja...”

Aku semakin gelisah dibuatnya. Sita masih bergeming ditemani cucuran air mata yang tumpah. Isaknya semakin kentara mengisyaratkan betapa berat beban yang dipikulnya. Saking beratnya, dia seperti tak sanggup berkata-kata. Hanya lewat air mata dia bisa mengungkapkan kondisi hatinya. Aku terdiam sejenak. Sampai detik ini, aku belum tahu apa pun tentang masalah sahabatku. Kucoba menenangkannya agar dia mau bicara. Kulihat di beberapa bagian tubuhnya memar.

“Wie, aku mencintai Reza, suamiku,” tuturnya memecahkan keheningan.

“Aku tahu, Ta. Perasaanmu kini sama seperti lima tahun lalu. Dan aku tahu, itu tak akan pernah berubah.”

”A..ku menya..yanginya. Sang..aaat menya..yanginya, lebih dari a..ku menya..yangi diriku sendi..ri,” ujarnya terbata-bata sembari terisak pilu.

“Itu sudah seharusnya Ta. Kalian suami-istri.”

“A..ku men..cinta..inya.. Kemarin, ha..ri i..ini, e..sok, da..an sampai ka..pan pu..n...”

“Lalu, kenapa kamu seperti ini, Ta? Apa yang terjadi? Ayo, Ta, cerita sama aku... ”

Lagi-lagi Sita terdiam. Tatapannya kembali kosong. Kupandangi sahabatku dalam-dalam. Wajahnya pucat lesi dan bersimbah air mata. Mata dan pipinya tampak cekung. Tubuhnya lemas dan kurus tak terurus. Mata indahnya sembap. Pikirannya melayang entah ke mana. Sinar kebahagiaan yang dulu terpantul dari indra penglihatnya lenyap sudah. Senyum yang dulu senantiasa merekah pun kini sirna sudah. Tak henti-hentinya sahabatku itu tersengut-sengut. Sebegitu dahsyatnya luka di hati Sita. Satu kata yang dapat kubaca dari kondisi hatinya kini. Perih.

“Reza... men..jual a..ku ke sa..habatnya....”

Kata-kata terakhirnya bak petir di telingaku. Lidahku kelu. Tubuhku gemetar. Kaki dan tanganku pun lunglai. Aku mengerti sekarang.

Mencoba bertahan di atas puing-puing cinta yang tlah rapuh

Apa yang kugenggam tak mudah untuk aku lepaskan

Aku terlanjur cinta kepadamu

Dan tlah kuberikan sluruh hatiku

Tapi mengapa baru kini kau pertanyakan cintaku

Kini terlambat sudah untuk dipersalahkan

Karena skali cinta, aku tetap cinta

Category: 0 komentar

TAK CUKUP DENGAN MIMPI

Kurasa tak ada yang tidak realistis jika kamu memang yakin dapat melakukannya. Kurasa jika kamu cukup berkeras hati dan bersedia berupaya keras, tentulah kamu akan dapat melakukannya.”

(Mike Ditka)

Tidak ada keberhasilan yang diraih tanpa perjuangan. Tidak ada kejayaan yang digapai tanpa perasan keringat. Juga tidak ada kemenangan yang direngkuh dengan bertopang dagu dan berpangku tangan.

Resapilah perjuangan Rasulullah saw, beliau tidak pernah menyerah pada keadaan dan kegagalan. Meski harus dihujani caci maki oleh orang-orang kafir, mendapat penolakan yang menyakitkan dari kaum musyrikin, juga kekalahan dalam Perang Uhud, beliau tetap bekerja keras dan terus berjuang agar cita-citanya terwujud. Dengan bermandi peluh juga bersimbah darah, beliau rela melakoni semua itu demi tersebarnya agama Allah swt dan meluasnya kekuasan Islam di muka bumi.

Berpangkal dari MIMPI, semua yang terasa tidak mungkin akan menjadi mungkin. Bermula dari mimpi, kenyataan yang sepertinya mustahil terwujud akan menjelma menjadi kentara. Bermimpi adalah suatu pekerjaan yang sederhana dan tak butuh biaya. Siapa pun bisa bermimpi untuk kebaikan dirinya, gratis, tanpa harus mengeluarkan sepeser pun ongkos. Bermimpi adalah langkah pertama menuju kegemilangan dan tahap awal yang mengarah pada kesuksesan. Bermimpi adalah angan-angan tentang kehidupan yang didambakan. Bermimpilah untuk mencapai sebuah perubahan!

Dalam sebuah perjalanan hidup, seseorang yang ingin sampai pada tingkat kesuksesan, kejayaan, juga kegemilangan, tentu diawali dari sebuah mimpi. Lalu, ditindaklanjuti dengan kerja keras dan kesungguhan yang tidak pernah berhenti. Selain kerja keras, seorang pemimpi juga harus memiliki ‘senjata sakti mandraguna’. Senjata yang selalu membantunya bertempur melawan sergapan musuh yang seketika menyerang. Senjata yang digunakan untuk membunuh juga meluluhlantakkan semua lawan yang tiba-tiba datang menghadang. Sungguh mujarab. Senjata itu diperoleh gratis pula, sama seperti mimpi.

‘Senjata itu adalah SEMANGAT. Di tengah perjalanan, semangatlah yang akan terus memacu kita, menstimulus tangan, kaki, hati, jiwa, juga pikiran kita agar tetap bertahan dan terus ‘berperang’ sampai mimpi dan cita-cita kita terwujud. Semangatlah yang menjadi senjata pemusnah kebosanan, pengingat akan tujuan pokok yang hendak dicapai, juga penguat diri saat kondisi terburuk menikam. Seseorang pernah berkata, “Sesuatu yang besar tidak akan bisa dicapai tanpa semangat. Semangat begitu penting, sama pentingnya dengan udara yang kita hisap.” Begitu urgennya semangat hingga ia disejajarkan dengan udara yang berperan vital bagi kelangsungan hidup manusia. Seorang pemimpi takkan bisa mewujudkan impiannya jika tidak memiliki semangat yang membara. Begitu juga dengan semangat. Ia pun akan sia-sia jika tak diiringi mimpi yang akan diwujudkan. Karenanya, semangat dan mimpi bagaikan dua keping mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Keduanya saling melengkapi dan saling mengisi.

Namun demikian, seorang pemimpi yang benar-benar menjunjung tinggi mimpinya, tentu tidak cukup dengan berbekal mimpi dan semangat saja. Juga tidak bisa jika hanya diam berpangku tangan, terkalahkan oleh keadaan, atau bahkan menyerah pada kegagalan. Dalam kondisi yang paling sulit dan berat sekalipun, dia akan siap bertempur dengan apa dan siapa pun yang akan menghadang kesuksesannya, termasuk dirinya sendiri. Satu hal yang ditujunya adalah mewujudkan mimpi-mimpi besarnya, sampai tetes darah penghabisan! Baginya, meski telah memiliki mimpi dan semangat, dua bekal itu belumlah memadai untuk meniti sebuah perjalanan panjang dalam menggapai hasrat yang selama ini didambakan. Dia akan menggunakan senjata lain yang tidak kalah hebat, canggih, dan penting dibanding mimpi dan semangat. Senjata itu: KERJA KERAS.

Mungkin, perjuangan Arai dan Ikal dalam novel kedua dari tetralogi Laskar Pelangi buah tangan Andrea Hirata, Sang Pemimpi, bisa menginspirasi kita. Betapa sungguh sangat dahsyat semangat kedua anak pedalaman Belitong tersebut dalam merangkai juga menjelmakan mimpi-mimpi indah mereka. Cita-cita mereka hanya satu: sekolah ke Prancis dan menjelajah Eropa juga Afrika. Padahal, jika dipikir secara logika, tidak mungkin seorang kuli bisa melanjutkan pendidikan ke bumi Eropa juga menelusuri Afrika. Jangankan sekolah, untuk makan pun mereka susah. Setiap waktu hanya bersentuhan dengan ‘kemiskinan.’ Namun, tidak ada yang tidak bisa digapai jika hal itu disertai dengan kesungguhan dalam meraihnya. Inilah gambaran umum kondisi anak pedalaman yang punya mimpi, semangat, juga kerja keras yang sangat luar biasa. Tiga hal terpenting dalam mengejar cita-cita, yang tidak jarang tidak dimiliki oleh orang kebanyakan.

Biar kau tahu, Kal, orang seperti kita tak punya apa-apa, kecuali semangat dan mimpi-mimpi, dan kita akan bertempur habis-habisan demi mimpi-mimpi itu!!”

“Tanpa mimpi, orang seperti kita akan mati....

(Sang Pemimpi, hlm. 153).

Ya, tanpa mimpi, kita tidak akan menjadi apa-apa. Sungguh, tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Abraham Lincoln pernah berkata, “Kau bisa mendapatkan apa pun yang kau inginkan jika kau memang cukup kuat untuk menginginkannya. Kau bisa menjadi apa pun yang kau inginkan dan melakukan apa pun yang ingin kau capai jika kau bertahan pada keinginan itu dengan satu tujuan spesifik dan jelas.” Dan, inilah yang dilakukan dua tokoh utama dalam novel Sang Pemimpi-nya Andrea Hirata. Mimpi mereka hanya satu: sekolah ke Prancis dan menjelajah Eropa hingga Afrika.

Mungkin setelah tamat SMA kita hanya akan mendulang timah atau menjadi kuli, tapi di sini, Kal, di sekolah ini, kita tak akan pernah mendahului nasib kita! Kita lakukan yang terbaik di sini! Dan kita akan berkelana menjelajahi Eropa sampai ke Afrika! Kita akan sekolah ke Prancis! Kita akan menginjakkan kaki di altar suci almamater Sorbonne! Apa pun yang terjadi!!” (Sang Pemimpi, hlm. 154).

Dengan berbekal mimpi dan semangat yang mereka miliki, juga kerja keras yang tiada pernah henti, mereka siap bertarung dengan musuh yang menghadang di depan, termasuk diri mereka sendiri yang terkadang mengikis mimpi-mimpi mereka secara perlahan. Demi mimpi-mimpi indah itu: ingin sekolah ke Prancis, menapakkan kaki di altar suci almamater Sorbonne, dan mengeksplorasi Eropa hingga Afrika, mereka rela melakukan apa pun. Ya, apa pun, asal halal dan bisa mengejawantahkan mimpi-mimpi indah mereka. Hal ini mereka buktikan dengan bekerja mati-matian menjadi kuli dari pukul 2.00 pagi hingga gelap malam. Selama tiga tahun, memeras keringat agar bisa mengumpulkan rupiah demi rupiah. Berpayah-payah dianggap mamalia demi bisa sampai ke Jawa. Lima hari di laut dengan terjumbul-jumbul di kapal barang dagangan kelontong dan ternak. Siap memasak, mengepel dek dan palka, juga membersihkan WC.

Sungguh, hasil yang mereka dapatkan pun masih jauh dari kata cukup, padahal perjuangan mereka sudah sangat meletihkan. Mereka sadar bahwa cita-cita mereka terlalu tinggi, tetapi mereka tidak pernah mau menyerah dan berkompromi sedikit pun dengan impian yang sudah sejak lama mereka rangkai dengan sangat indah. Mereka juga mafhum bahwa perjuangan mereka menggapai impian masih jauh dari kenyataan. Namun, semua itu tidak mematahkan sedikit pun semangat mereka. Mereka pun kian dahsyat menggencarkan aksi mereka dalam meniti perlahan-lahan impian itu.

Lalu, dua anak pedalaman itu menerapkan petuah berikut, “Bermimpi memang bagus tetapi lebih bagus jika bermimpi dan bekerja. Takdir memang kuat, tetapi aksi ditemani takdir, tentu jauh lebih kuat.” (Thomas R. Gaines). Hal itu pun terbukti. Kerja keras yang dilakukan Ikal dan Arai sejak bertahun-tahun lalu pun membuahkan hasil. Keduanya mendapat beasiswa di sebuah negeri yang sejak dulu mereka impikan: PRANCIS. Akhirnya, Allah pun memeluk – meminjam istilah Andrea-- mimpi-mimpi mereka.

Apa yang bisa kita ambil dari kisah tersebut? Sungguh, kemenangan itu tidak didapat begitu saja. Butuh perjuangan dan pengorbanan untuk menjelmakan sesuatu yang mustahil terjadi menjadi nyata. Yakni, dengan kolaborasi mimpi, semangat, dan kerja keras. “Berbuat yang terbaik pada titik di mana aku berdiri, itulah sesungguhnya sikap yang realistis.“ (Andrea Hirata, Sang Pemimpi, hlm. 208). Sebab, hal kecil yang saat ini kita lakukan adalah bagian dari hal besar yang kita impikan. Dalam petuahnya, Thomas Alfa Edison juga pernah berkata, “Ada tiga hal mendasar untuk mencapai segala yang Anda inginkan: 1) usaha sungguh-sungguh; 2) fokus; 3) dan menggunakan akal sehat. Beruntunglah kita yang berani bermimpi. Karena dengan bermimpi, berarti kita telah berani untuk berjalan. Jika kita telah berani untuk berjalan, berarti kita telah siap untuk berlari. Semakin kuat kiita berlari, semakin dekat kita untuk mendekap dan merangkul erat hasrat juga harapan yang selama ini kita impikan. Selamat bermimpi, bersemangat, dan bekerja keras! :-)

Category: 0 komentar
Diberdayakan oleh Blogger.

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

About Me

Foto saya
Perajut serpihan-serpihan aksara yang bergejolak dalam jiwa, bergolak, dan terserak dalam alam pikiran dan perasaan.