Rindu Hujan





Tahukah kau, aku begitu rindu… Sangat rindu. Rindu yang tidak bisa kujelaskan.. Rindu yang tidak dapat kuluapkan.. Rindu ini hanya bisa kunikmati sendiri. Hanya sendiri. Rindu ini hanya mampu bersemayam dalam relung hati yang tersembunyi. Ya, hanya mampu begitu. Entah sampai kapan… Seperti berada dalam lubang kecil yang tak bercelah. Terjebak dalam sesat yang teramat pekat. Terus berontak dan meronta-ronta. Ah, rindu ini… betapa menyiksa…

Kau tahu bukan, aku begitu menyukai hujan. Tapi, ia tidak datang. Kau juga tahu bukan, rinduku sedikit terobati jika memandangnya. Menyentuhnya. Menghirupnya. Merasakannya dengan segenap jiwa. Ah, tetapi ia tak juga bertandang. Oh, bagaimana ini...

Hujan. Sungguh, aku benar-benar membutuhkanmu...

Betapa tenang. Alangkah menenteramkan. Tahu kah kau, butiran-butiranmu yang membasahi bumi seakan ikut membasuh kalbuku yang kerontang. Melerai hati yang bertikai. Hembusan hawamu yang sejuk seperti mendamaikan jiwa yang gelisah. Meredam resah lantara rindu yang membuncah. Mengusap ragaku dengan sentuhanmu yang meneduhkan. Datanglah, untukku. Aku menunggumu.

Saat kau datang...

Meski cakrawala sendu, biarpun gemawan terlihat kelabu. Lihatlah, bunga-bunga menari dibuatmu. Pepohonan berayun riang. Rerumputan nampak tersenyum segar. Sunggguh, aku ingin seperti mereka… Kubentangkan tanganku. Kupejamkan mataku. Kubiarkan bulirnya menyentuh wajahku yang layu. Kubiarkan tetesannya mengaliri tubuhku yang kuyu. Biarlah.. biarlah.. Biarlah diriku kuyup dalam pelukannya… Demi menenangkan rindu yang terus menggelitar pada jiwa...

Drakula yang Manis [1]




[1]

“Gue masih di jalan, Za. Sekitar pukul sebelas baru sampai kos. Macet, niih… Iya, gue tahu. Hmm…. Iya, iya. Nggak ada apa-apa koq. Iya. Udah ya. ” ponsel pun ditutup dengan perasaan kesal.

Viona berbohong. Sebetulnya, dia sedang tidak terjebak macet. Dia justru tengah melangkah perlahan di sebuah trotoar. Dia baru saja keluar dari kantornya. Tepat pukul sepuluh malam. Tangan kirinya menjinjing lemas tas kerja berwarna cokelat, sedang tangan kanannya menggenggam ponsel yang sedari tadi tidak pernah dilepaskan sembari memeluk beberapa lembar dokumen yang mesti diperiksanya besok pagi. Kakinya melangkah lemas. Tubuhnya yang tak lagi berenergi seakan terus dipaksa berjalan.

Viona menghentikan langkah sesaat setelah menerima telepon dari Reza, sahabat dekatnya. Perhatian yang diberikan Reza malam itu justru membuat mood Viona semakin buruk. Pasalnya, dengan kondisinya saat ini, Reza justru banyak sekali bertanya. Membuat kepalanya bertambah pening. Viona mengambil napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya dengan berlebihan.

Beberapa hari terakhir adalah hari yang sangat melelahkan bagi Viona. Konflik batinnya dengan sang atasan dan beberapa tugas yang menumpuk membuatnya merasa tertekan. Apalagi, dia harus pulang selarut ini hampir setiap hari. Belum lagi dia mesti bekerja sebagai penulis lepas pada akhir minggu demi memuaskan hobinya. Tubuhnya seperti tinggal sebatang ranting yang sangat rapuh. Betapa mudahnya untuk dipatahkan menjadi beberapa bagian.

Gadis bertubuh ramping itu pun duduk di halte bus yang ditemuinya. Sejenak melepaskan penat yang menggelayuti otaknya. Meski dia tahu tidak semudah itu si penat pergi. Kini, dia tidak lagi sadar bahwa hari telah begitu larut.

“Hei, lihat saja, aku adalah pegawaimu yang paling cepat mengundurkan diri!!!” omelnya kesal. Matanya membeliak seperti hendak loncat dari kelopaknya. Napasnya naik turun tak beraturan. Jemari kanannya spontan memijit pelan pelipisnya yang terasa nyeri.

“Oh, beginikah bekerja di kota besar? Banyak sekali hal yang harus dikorbankan.” Bibir mungilnya digigit tanda putus asa. Lagi-lagi dia menghembuskan napas.

“Sepertinya aku tidak bisa lagi bekerja di tempat itu. Terlalu sulit… Tapi… aku harus bagaimana?” lagi-lagi Viona mendesah. Bahunya turun.

Bayang-bayang peristiwa tiga hari terakhir pun mondar-mandir di pelupuk matanya. Bagaimana atasannya merobek seluruh progress report yang telah dibuatnya dengan susah payah. Bagaimana dia mencoret merah seluruh naskah yang telah ditulisnya dan memintanya untuk mengerjakan ulang dalam waktu singkat.

“Haah, orang itu. Benar-benar bukan manusia!” umpatnya kesal.

“Apa dia tidak tahu aku mengerjakan semua itu sampai tidak tidur nyenyak selama satu bulan!”

Belum sembuh kekesalan mengingat bayangan yang satu, bayangan lain pun melintas. Viona teringat ketika atasannya tiba-tiba berada di belakangnya dan mendapati dirinya sedang asyik mengerjakan hal lain: menulis cerita!

Dia tersenyum dan terkekeh sendiri saat menentukan tokoh dan alur dalam dongengnya. Begitu larut dalam cerita yang dibuatnya hingga lupa diri. Jika kantuk menyerang, bukan segelas kopi yang diburunya, melainkan kotak tissue! Dia bergegas mengambil beberapa lembar tissue yang selalu tersedia di mejanya. Dalam beberapa menit, tissue putih itu sudah penuh terisi tulisan bertinta merah. Berlembar-lembar jumlahnya!

Melihat tingkahnya yang demikian, sang atasan sontak mengamuk lantaran pekerjaan yang sedang diburu target terbengkalai.

“Hoohh, benar-benar menyeramkan! Di dekatnya aku seperti tak bisa bernapas. Betul-betul menakutkan seperti drakula! Ya, drakula! Dia memang pantas disebut drakula!!”

Sesaat Viona terdiam. Pandangannya diedarkan ke sekeliling. Indra penciumannya mulai memburu udara yang kini mulai terasa dingin. Menghirupnya banyak-banyak agar dadanya tidak lagi terasa begitu sesak. Lalu dihempaskannya.

“Aku memang salah,” aku Viona jujur. “Tapi, apa tidak bisa dia menegurku dengan baik-baik dan ramah, hah??”

Gadis itu terus bicara sendiri. Dengan cara inilah kegelisahan yang menyesakkan dadanya paling tidak sedikit terlepas. Untuk kesekian kali, Viona mendesah. Ah, dia sungguh sangat kesal pada atasannya.

“Apa aku resign saja ya?” kali ini dia mulai berpikir untuk memutuskan.

Tapi, buru-buru ditepis, “Ooh, tidak, tidak, tidak! Sejak kapan aku jadi wanita yang lemah begini? sejak kapan aku gampang menyerah? sejak kapan aku mulai sering mengeluh? Ahh, aku harus bertahan! Ya, harus!!” sergahnya cepat.

“Hmm, tapi bagaimana…?”

Viona memiringkan sedikit kepalanya. Menyipitkan matanya. Keningnya mengerut. Bibirnya yang tipis sesekali digigit dan dimanyunkan. Lagi-lagi, dia menarik napas dalam-dalam, lalu dihempaskan semua. Telunjuk kanannya mulai memukul-mukul lembut pipinya.

Tiba-tiba saja suara klakson mobil menghamburkan lamunannya. Sebuah Livina silver berhenti tepat di depan tempat Viona berdiskusi dengan dirinya sendiri.

“Siapa?” batin Viona heran. Dia menoleh ke kanan dan kirinya. Tidak ada orang, pikirnya. Jantungnya mulai berdebar-debar. Hatinya mulai gusar. Menebak-nebak hal yang akan terjadi kemudian. Tak lama, sesosok lelaki bertubuh tegap turun dari mobil. Samar-samar Viona menatap laki-laki itu.

“Pak Danu!” ucapnya terkesiap.

“Vi, kamu gila jam segini masih di jalan?? Kamu nggak tahu jam berapa sekarang?" Lelaki yang mengenakan switer coklat itu memburu Viona dengan berbagai pertanyaan.

Viona hanya tersenyum kecut sembari menganggukan kepala. Apa urusannya, gumamnya sinis dalam hati.

“Masuk!” perintah Danu.

Viona bergeming. Masuk? Ke mobilnya? Ah, drakula itu bercanda. Dia pasti mau menghisap darahku! Hei, drakula, darahku sudah habis tak bersisa. Bukankah kau yang menghisap darahku semua, hah?? Lihatlah, tubuhku sudah begini kurus. Kau masih menyuruhku bekerja hingga hampir tengah malam!! Aku sudah hampir terlihat seperti tengkorak hidup, bukan?! Viona sibuk memprotes dalam pikirannya sendiri.

Ya dialah Danu Ardiansyah Daniel. Lelaki itulah yang sejak tadi dibicarakan Viona hingga berjam-jam duduk di tempat penghentian bus. Sikapnya yang dingin, perfeksionis, tapi kerap seenaknya dan tempramental sungguh membuat Viona tertekan. Dan kini, orang yang membuatnya kesal berada di depannya.

Melihat Viona masih tidak bergerak, Danu turun lagi dari mobilnya setelah sempat masuk. Dia lantas menarik tangan Viona,dan memaksanya masuk. Dia pun membukakan pintu mobilnya untuk gadis itu. Namun, belum sempat pintu mobil terbuka, Vionna menarik keras tangannya dari genggaman Danu.

“Maaf… Di kantor kita memang atasan dan bawahan. Tapi, di luar kita tidak ada hubungan professional. Jadi, Anda tidak berhak mengatur dan memerintahkan saya seenaknya!” Mata Viona menentang mata lelaki itu dengan penuh percaya diri.

Danu tidak merespons. Dia kembali menarik tangan Viona lalu membukakan pintu mobil untuk gadis yang baru saja memprotes tindakannya. Viona ingin memberontak, tapi tidak ada kekuatan untuk itu. Tidak ada lagi tenaga yang tersisa. Dan terpaksa dia menurut.

“Aku antar kamu pulang,” suara Danu memecah keheningan.

“Ah, tidak perlu. Saya turun di perempatan depan saja. Biar saya naik taksi.”

Danu tidak menjawab. Pandangannya menatap lurus ke depan. Mulutnya terkunci rapat. Lalu, dia menyodorkan beberapa bungkus roti yang baru saja dibelinya.

“Makanlah. Aku tahu kamu belum makan.”

Viona terkejut. Mengapa dia bisa tahu? Batinnya heran. Dan dia sendiri pun lupa jika perutnya belum diisi makanan sejak sore tadi.

Gadis itu hanya tersenyum kecut dan meletakkan kembali roti yang disodorkan tadi ke tempatnya.

“Tidak, terima kasih.”

Melalui jendela mobil, Viona menatap kerlap-kerlip lampu Jakarta di malam hari. Setiap gedung seakan berlomba tampil memikat dengan hiasan cahaya yang menghipnotis. Betapa dia baru menyadari bahwa terkadang, kota yang kejam ini pun memiliki sisi yang amat cantik. Viona menyunggingkan senyum. Tapi, tiba-tiba saja perutnya mulai terasa melilit. Aih, dia mulai meringis.

Mengapa tadi tidak kumakan saja roti pemberian si drakula. Ah dasar bodooh! Sesalnya dalam hati. Tapi, aku tidak mungkin memakannya setelah menolaknya tadi. Huh, mau taruh di mana mukaku! Tidak tidak tidak! Aku harus menahannya hingga sampai di rumah. Sisi hatinya yang lain menguatkan.

“Kau ini! Dalam kondisi begini masih saja menjaga gengsi.” Tanpa diketahui, Danu melihat gadis itu meringis menahan lapar. Danu mencoba menahan senyum geli.

“Eh, siapa yang gengsi? Siapa juga yang lapar? Aku sudah makan tadi.”

Hah, dia sudah berani meledekku! batin Viona. Ah, tidak. Dia memang ahlinya mengejek, memarahi, menyuruh, mengatur, dan semua yang membuatku stress. Orang itu benar-benar drakula!

[bersambung]

Menjemput Keberuntungan lewat Doa Ibu






Judul Buku : Sukses berkat doa Ibu
Penulis : Aang Abdul Qahar - Dewi Kournia Sari
Penerbit : Idealmahira (lini Almahira)
Jmlh hlm : 184
Harga : Rp. 45.000,-

Siapa pun tahu bahwa meraih kesuksesan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Harus ada elemen-elemen pendukung demi mewujudkan harapan yang diinginkan. Sungguh, kesuksesan bukanlah kerja semalam. Ia adalah buah ikhtiar. Seorang Jenderal Purnawirawan Amerika, Collin Powell mengatakan “Sukses adalah hasil kesempurnaan, kerja keras, belajar dari kegagalan, kesetiaan, dan ketekunan.” Saya sepakat. Saya juga yakin bahwa banyak orang telah membuktikan hal tersebut dalam kehidupan mereka. Tapi, apakah hanya itu?

Tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian kita mengalami hal sebaliknya: kegagalan dan keterpurukan. Usaha yang dillakukan tidak kalah keras dengan mereka yang meraih kesuksesan. Pengorbanan pun tidak pernah berhenti diberikan. Namun, kegagalan demi kegagalan kerap datang silih berganti hingga berujung pada keputusasaan. Jika sudah demikian, tidak jarang kita menjadikan Allah swt sebagai “sasaran” kekecewaan. Kita sering beranggapan bahwa kegagalan adalah takdir Tuhan. Lalu memvonis bahwa kesengsaraan yang kita alami adalah kehendak-Nya. Tanpa disadari, kita telah menentukan takdir kita sendiri yang kita klaim sebagai takdir Allah swt.
Lantas, bagaimana???

Tahukah Anda, Allah swt tidak begitu saja “menceburkan” hamba-Nya ke dalam kubangan derita. Membiarkan kita sengsara tanpa memberikan “senjata" untuk keluar dari problema hidup yang ada. Satu hal yang terkadang kita lupakan bahwa kesuksesan adalah sebuah keberuntungan! Dan di dalam keberuntungan ada doa ibu.

Berhentilah sejenak dari rutinitas. Selagi beliau masih bersama kita, sisakan saja sedikit waktu untuk memandang dan memperhatikan wajahnya. Sebentar saja. Lihatlah, betapa banyak perubahan fisik yang dialaminya; rambutnya, kulitnya, dan kekuatannya. Resapilah, betapa banyak pengorbanan yang telah dilaluinya hanya untuk menjadikan kita, sambungan jiwanya menjadi orang yang bisa membuatnya tenang saat ajal tiba. Pandailah ia lekat-lekat. Tanyalah hati kita: sudah berapa banyak kebahagiaan yang kita berikan untuknya? Berapa banyak kebahagiaannya yang “terampas” demi kita, jantung hatinya. Namun, hingga kondisi demikian, adakah semua itu mengurangi cintanya pada kita?

Jika hidup kita tak kunjung bahagia, adakah lisan kita pernah menyakitinya? Andai kata hidup kita tak pernah lepas dari marabahaya, adakah sikap kita yang selalu membuatnya kecewa? Bila mana hidup kita senantiasa dinaungi kesukaran, mungkinkah kita tak pernah meminta restunya?

Banyak hal yang akan Anda temukan dalam buku ini, selain keutaman seorang ibu. Perjuangannya demi anak-anak yang sangat dicintainya pun akan menemani Anda menyusuri lembar demi lembar buku ini. Juga alasan mengapa harus doa ibu yang –bisa dikatakan—memiliki andil cukup besar dalam kehidupan anak-anaknya kelak. Singkaplah secepatnya kabut hitam yang selama ini menyelimuti hidup Anda. Jemputlah segera keberuntungan Anda lewat restu dan doanya.

Peristiwa di senja yang jingga







/1/

Bbbkk… bbbkkk… bbbkkk…bbbkkkk...

“Berhenti berhenti berhenti!!!!”

Aku terperanjat. Seorang lelaki paruh baya tiba-tiba berteriak sambil memukul-mukul badan bis yang sedang kunaiki. Teriakannya membuyarkan khayalanku yang tengah berjelajah ke negeri imaji.

“Wooiii, brengsek!! Turun Lo!!!”

“Turuuuuuun!!” serunya lagi.

Pekiknya tertuju pada seorang pemuda berkaos biru yang baru saja naik terengah-engah. Kusimak lelaki yang berteriak-teriak itu. Dia bertubuh tinggi. Dengan jins yang membalut kekar tubuhnya serta sedikit tato yang mengintip dari lengan kaos hitamnya, dia tampak tak begitu menyeramkan sebenarnya. Lelaki itu mematung di pintu depan metromini yang hendak berbalik arah. Berdiri tepat di dekatku yang duduk di depan pintu.

“Ma..af Bang... Saya cuma punya satu,” tukas pemuda berbaju biru dari dalam bis ketakutan.

“Halah. Brengsek Lo! Turun!!!”

Pemuda itu kian pucat.

“Buka!”

“Saya cuma punya satu...”

"Gue nggak peduli! Buka!!”

“Jangan, Bang. Ini punya saya.”

“Kagak ngerti bahasa gue Lo? Hah?”

“Ngerti Bang... tapi... Saya cuma punya satu Bang.”

“Gue nggak mau tahu. Buka!!”

“Tapi, Bang...”

Wajah pemuda berbaju biru itu bertambah tegang. Tubuhnya gemetar. Sementara lelaki di luar masih terus menggedor-gedor pintu. Kulihat pemuda yang ditujunya kian menciut. Mencari perlindungan di balik penumpang yang berdiri berhimpitan. Dia kian menyeruak ke jejalan penumpang bis. Berpuluh pasang mata memandangnya. Heran diliputi kekhawatiran. Tak ada yang berkutik. Masih dari luar bis, lelaki itu makin keras berseru.


“Brengsek Lo ya! Lo kagak mau buka tuh kaos??!” hardiknya lebih keras. “Gue matiin juga Lo!”

Para penumpang terbengong-bengong. Mereka semua terlihat ketakutan, termasuk aku. Tak berani berbuat sesuatu. Tak ada yang bersuara, kecuali suara mereka berdua yang beradu. Tegang. Seketika, suara tangis seorang bayi pecah. Suasana kian mendebarkan! Sebagian penumpang perempuan yang kebanyakan ibu-ibu lebih memilih turun diiringi kecemasan.

“Brengsek!!”

Lelaki bertubuh kekar itu naik pitam. Wajahnya merah. Napasnya naik turun. Beringasnya mulai terlihat. Dia pun menerobos masuk bis. Tangannya berusaha menggapai tubuh pemuda berbaju biru itu. Sekuat daya menyingkirkan penumpang yang mengahalangi niatnya.


“Woi woi woiii, apa-apaan sih ini?” Kenek metromini mencoba melerai.

Tak dihiraukan. Tangannya yang kekar terus berupaya menggapai pemuda tadi.

“Jangan berantem di sini dong!!” teriak salah seorang penumpang sambil menahan tubuhnya yang terus berontak.

“Diem Lo semua!!”

Tubuhnya masih meronta-ronta.

“Gue nggak ada urusan sama Lo!” bentak lelaki tu tak kalah emosi.

“Urusan gue cuma sama dia!” wajahnya menunjuk ke arah pemuda berbaju biru tadi.

Malang, tubuh sang pemuda mampu diraihnya.

“Bukkkkkkk... Buuukkkkk.” Dua tonjokan pun mampir di wajahnya. Dia terus memaksa pemuda itu untuk membuka kaos. Tanpa berpikir lagi, pemuda tadi bersedia menuruti kemauannya. Tak ingin peristiwa itu bertambah panas, para penumpang berpayah-payah mengeluarkan lelaki itu.

“Jalan Bang jalaaan... Jalaaan....” serempak para penumpang teriak saat mereka berhasil mengeluarkan pembuat onar dari kendaraan yang mereka tumpangi.

Dan mobil pun melesat meninggalkan lelaki bertubuh kekar itu.

/2/

Lelaki berkaos biru itu masih terlihat gugup. Dia terlihat shok. Tubuhnya lemas. Dipersilakan dia duduk oleh seorang bapak-bapak yang terenyuh. Kaos yang berada di tangannya digenggamnya erat-erat. Sesekali dilekatkan ke bagian wajahnya yang lebam. Tubuhnya gemetar. Mukanya meringis menahan sakit. Ada sedikit darah mengalir dari ujung bibirnya.

“Kenapa sih sampe begini? Ada urusan apa lo sama dia?” tanya seorang lelaki penasaran.

“Iya, sampe ditonjok gitu. Abis ngapain emangnya?” sambar ibu-ibu yang duduk di belakangku. Sepertinya, hanya aku dan dia perempuan yang tak turun saat peristiwa itu terjadi.

Pemuda itu bergeming. Mengacuhkan rasa penasaran penumpang. Mungkin sedang menenangkan diri, batinku membaca kondisinya. Dia terlihat sangat terpukul.

“I..ni Bang...” timpalnya pelan. “Gara-ga..ra ini...” Tangan kanannya yang memegang kaus diangkat.

“Hah, kaos? Lo abis nyuri kaos?” tanya penumpang lain curiga.

“Iya, jangan-jangan Lo abis maling lagi,” celetuk yang lain.

“Nggak Mas... I..ni gara-gara saya pake kaus biru, punya kelompok sepak bola lain!”

“Ya ampuuun...” seru mereka serempak tak percaya. Beberapa orang terlihat menggelengkan kepala.

“Dia dari Jakarta?” kali ini seorang bapak bertanya.

Pemuda itu mengangguk.

Dan para penumpang pun riuh dengan jawaban pemuda tadi. Sementara aku, berdiskusi sendiri dengan pikiranku yang berusaha keras memahami peristiwa tadi. Hanya gara-gara orang lain pake kaus bola kebanggaannya emosi mudah sekali tersulut?? Bukankah setiap orang punya hak untuk mengidolakan siapa pun? Tak kenal RAS atau negara. Tak pandang dia lelaki atau perempuan. Marilah hargai perbedaan. Mengapa kita harus memaksakan kehendak? Bagaimana pun kita tetap bersaudara, bukan? Ah, aku masih tak paham.

Dan bis yang kutumpangi pun terus melesat di keramaian ruas-ruas ibu kota. Melaju meninggalkan sekeping peristiwa di senja yang jingga.

Pesan Terakhir




“Tak ada yang akan memperbaiki kehidupanmu jika kau tak mau dan tak mampu memperbaikinya sendiri.” (Bertolt Brecht)




Malam merambat gelap. Aku masih berjalan gontai menyusuri gang-gang sempit dan kotor. Di sepanjang gang ini berdiri kumuh pemukiman warga pendatang dari penjuru nusantara. Tapi kebanyakan, yang kutahu dari wilayah Jawa.

Dengan tubuh lemas, aku melangkah setapak demi setapak. Tak kutemui seorang pun di lorong ini. Kecuali di mulut gang tadi. Ya, di sana ada warung kopi milik Mak Yoyon. Warung itu tak pernah sepi. Meski hanya menjajakan kopi susu, teh hangat, dan mie rebus. Banyak bapak-bapak, om-om, juga pemuda yang tidak jelas pekerjaannya berkumpul di sana. Yang selalu kulihat, mereka sering main kartu, tertawa-tawa, dan menggoda para gadis yang masih sudi lewat gang busuk ini. Tidak pagi, sore, malam atau subuh. Kartulah yang selalu mereka pegang, juga makanan barang kali, tidak lain!

Dinginnya angin malam yang menari-nari semakin menusuk-nusuk kulitku. Setelah seharian mengamen, menjual koran, dan menyemir, aku belum juga ditikam kantuk. Katup mata ini sepertinya masih ingin melihat busuknya kondisi yang kualami. Langkahku masih terus menapaki ruas gang becek yang bercampur sampah-sampah basah. Sisa-sisa nasi yang berhamburan di sana-sini tak kalah meramaikan pemandangan rusak ini.

Semakin dalam aku memasuki gang sempit itu, semakin menyengat bau busuk yang menyiksa hidungku. Bau bacin, sampah yang berhamburan, dan tanah basah bercampur lumpur menciptakan aroma ‘wangi’ ala gang sempit dan kotor ini! Bau sudah merebak di setiap sudut-sudut kecil gang. Tak ada yang lolos untuk tidak menciumnya! Sama sekali!

Di depanku, tong-tong besar yang digunakan untuk menampung sampah tak lagi berdiri gagah di tempatnya. Ia sudah tergeletak di tengah jalan. Rupanya dari sanalah sebagian bau busuk itu berasal. Entah siapa yang membuatnya tumbang. Isinya terburai tak keruan. Tak ada yang peduli dengan semua itu, termasuk aku!

Aku terus melangkah. Kulihat sekelompok tikus berkejar-kejaran senang. Berlari ke sana ke mari di depanku mengintai makanan. Ada juga teman-teman mereka sepermainan: kecoa dan lalat yang sibuk berterbangan. Mungkinkah mereka sekeluarga? Jika iya, iri aku dibuatnya. Mereka terlihat kompak dan bahagia.

Belum lagi tanah cokelat yang lengket ini, huuh, membuatku harus bekerja ekstra karena tanah-tanah itu menempel di bawah sandal jepitku! Ditambah lubang-lubang besar yang sudah pasti menampung air jika turun hujan. Tentulah menyempurnakan busuknya tempat ini!! Kalian bisa bayangkan sendiri, bukan?

Jangan aneh, Kawan. Pemandangan itu sudah jadi santapanku tiap waktu. Ya, karena di tempat inilah aku bermukim. Di sana, di ujung gang ini yang terkenal bau busuk dan kotor! Sudah hampir setahun aku tinggal di sini.

Bagaimana lagi? Hanya tempat inilah tempat aku tinggal bersama dua adikku yang masih kecil-kecil. Tak terbilang berapa kali kami tidur di pinggir jalan, di bawah jembatan, di depan pertokoan, terminal, dan di bawah langit mana saja yang masih berbaik hati memperbolehkan kami untuk tidur hingga akhirnya kami terdampar di sini: di pojok gang sempit dan busuk ini! Tak terbilang juga berapa banyak kami harus menerima caci maki, amukan, sampai pukulan dari para pemilik kios yang merasa terhina jika depan kiosnya kami tiduri.
♣♣♣
Sampai juga aku di depan rumah. Yah, beginilah, Kawan. Rumahku tak semewah rumah kalian, atau paling tidak rumah yang di dalamnya ada ruangan khusus untuk tamu, untuk makan, memasak, juga untuk tidur. Lihatlah, rumahku hanya terbuat dari tumpukan kardus yang hanya bisa digunakan untuk tiudr, meski harus meringkuk. Yang terpenting bisa melindungi kedua adikku, Laras dan Senyum! Ya, melindungi mereka dari sengatan panas dan hujan, juga orang-orang jahat.

Dinding rumahku terbuat dari kardus-kardus bekas. Kira-kira tingginya satu meter dua puluh lima senti. Kardus itu aku tempelkan pada dinding kayu rumah salah satu warga gang sempit ini juga yang berdiri di sisi kanan dan kiri. Untunglah, mereka msih berbaik hati pada kami.

Lalu atapnya? Sama saja. Semua terbuat dari kardus! Kecuali jika kami sedang mujur. Ya, beberapa bulan lalu, aku dan Laras pernah menemukan sepotong triplek usang yang masih bisa digunakan. Laras menyuruhku untuk mengambil triplek itu agar dijadikan atap rumah. Tapi, tetap saja. Namanya juga barang usang. Ia pun tak bertahan lama, hanya dua bulan.

Lalu sekarang? Jika hujan turun, aku dan kedua adikku sudah menyiapkan plastik yang kami rekatkan satu sama lain untuk melindungi kardus-kardus kami agar tidak kebasahan. Tentu saja plastik bekas, Kawan. Tapi, kami juga sering kewalahan. Tidak jarang, kardus kami kalah diterjang hujan lebat dan banjir karena luapan got di persimpangan lorong yang berada tidak jauh dari rumahku. Walhasil, aku dan kedua adikku mau tidak mau tidur lagi di emperan jalan.
Lebar rumahku hanya satu meter kali satu meter setengah. Tak layak disebut rumah memang. Tapi, aku harus tetap bersyukur. Paling tidak ini lebih baik dari sebelumnya.

♣♣♣
Kulongok kedua adikku, mereka sudah tidur. Aku pun masuk dan duduk di sisi mereka.

“Senyum, banguun... Udah makan belum?” tanyaku pelan sembari mengoyang-goyangkan tubuh mungilnya yang meringkuk. Senyum adalah adikku yang paling kecil. Usianya sekitar enam tahun.

“Ras, bangun... Ini Mas bawa makanan enak. Ayoo bangun, nanti tidur lagi,” ujarku membangunkan adikku yang satu lagi.

Tak lama, Laras, adikku yang kedua pun terbangun. Sementara Senyum masih terlelap dalam kedinginan yang beku.

“Kita udah makan, Mas,” jawab Laras pelan. “Tadi... Laras dapet uang dari nyemir sepatu sama jual koran,” sambungnya sambil mengucek-ngucek mata.

Aku tertegun mendengarkan.

“Mas jangan marah dulu ya,” sambarnya ketakutan sembari menunduk tak berani melawan tatapanku. “Maaf Mas, bukannya aku nggak nurut sama Mas. Senyum udah laper banget tadi, tapi Mas Tawa nggak pulang-pulang juga. Jadi kita makan duluan, maaf ya Mas.... kita... kita... nggak nunggu Mas,” sambungnya pelan.

Aku masih menatapnya lekat-lekat. Ah, adikku, mengapa nasib kalian seperti ini. Hatiku teriris-iris melihatnya. Oh, Tuhan, jika aku boleh meminta, biarlah aku saja yang bernasib buruk, jangan mereka. Betapa aku sangat menyayangi mereka, Tuhan. Kupeluk erat Larasku. Kucium kening adikku yang berusia sekitar delapan tahun itu. Penuh cinta.

“Mas nggak marah koq Ras.....,” jawabku lirih sembari tetap mendekapnya. “Kamu nggak perlu minta maaf, yah....” Dadaku sesak, Kawan. Sesak melihat semua ini. Air mata sudah hampir tumpah. Tapi, aku tak mau air itu tumpah di depan Laras. Tidak!

“Mas yang salah, Ras... Mas yang belum bisa bahagiain kalian... tapi Mas janji, kita....” suaraku terbata-bata menahan air yang memaksa keluar. “kita... nggak akan begini selamanya... Mas janji, Ras... Mas janjii... Sekarang kamu tidur lagi, yah...,” kukecup sekali lagi keningnya.

Juga kening Senyum, adik bungsuku. Tak lupa kuselimutkan mereka dengan sepotong baju milik almarhum Ibu. Ya, karena itulah satu-satunya harta yang bisa dijadikan selimut hati dan jiwa kami yang kerap kedinginan membeku. Ah Ibu, andai ibu ada di sini, setidaknya semua tak akan seberat ini, bu...

Aku tahu, ketakutan Laras. Bukan, bukan karena mereka tak menungguku saat makan, Kawan. Sungguh, bukan itu! Dulu--dulu sekali-- beberapa waktu setelah ibu pergi, aku memang pernah berpesan pada Laras agar tidak menggunakan hasil keringatnya untuk makan. Biar aku yang membiayai hidup mereka. Dengan begitu, hasil keringat Laras bisa ditabung untuk masa depannya, atau sesuatu yang mendesak. Meski aku sadar, aku belum tentu sanggup melakukan itu, Kawan....
♣♣♣
Langit makin gelap. Namun, awan hitam tidak berhasil menutup celah pendar rembulan untuk bersinar. Benar. Cahayanya tengah malam itu begitu memesona. Semburatnya menghujam mendung yang bergelayut di angkasa. Menciptakan lukisan malam yang menggetarkan jiwa. Bentuknya pun bulat sempurna. Sayang, kesempurnaannya berlawanan tajam dengan hatiku. Bentuk hati ini tak lagi sesempurna itu. Akhirnya, air yang sejak tadi tertahan di sudut mataku pun tumpah! Ya tumpah! Aku tak kuasa lagi menahannya. Dorongannya untuk keluar begitu deras. Hatiku gerimis, dan terjadilah rinai di tengah malam itu.

Aku tahu, tubuh ini letih. Tak ada selera lagi untukku menyantap makanan yang sebenarnya jarang kami dapatkan. Tapi, mataku belum juga ingin terpejam. Perutku juga tak lapar. Pikiranku melayang-layang.

Di dekat pintu rumah, aku mematung. Menatap kedua adikku yang amat kusayangi terlelap. Kupandangi terus Laras. Tubuhnya begitu kurus tak terawat. Rambutnya berantakan. Robekan di bajunya pun tak lagi dapat kuhitung. Oh Tuhan, beri aku kekuatan, rintihku dalam hati berdoa pada yang Mahakuasa. Dalam sekejap, bertubi-tubi bingkai kepiluan menyergapku. Dulu—dulu sekali, sebelum kepergian ibu-- Laras pernah hampir dijual oleh bapak. Ya hampir! Sedikit lagi, dia sudah berada di tangan laki-laki tua yang memang kerjaannya menjual manusia. Wajah Laras memang ayu. Hanya saja tidak terurus. Beruntung. Ibu sempat memergoki bapak dan mengagalkan niat busuk itu setelah mencium gelagat bapak yang sangat mencurigakan. Meski akhirnya, aku dan kedua adikku harus kehilangan ibu untuk selamanya. Ibu geger otak karena perlakuan bapak dari hari ke hari.

Laras, masih panjang jalan yang hendak kautempuh. Tetaplah tegar seperti Laras yang aku kenal saat ini, bisikku dalam hati. Aku berjanji akan membuat hidupmu tak lagi menderita. Aku berjanji Laras!!

Pandanganku beralih pada si bungsu. Senyum, ah, Senyum. Betapa indah namamu. Nama yang dulu ibu berikan untukmu, tepat sebelum beliau pergi meninggalkan kita.... Nasibmu juga tak kalah pilu dengan Laras, Mbamu. Mozaik keperihan pun silih berganti memenuhi benak dan pikiranku. Megaduk-ngaduk perasaan dan emosiku. Tak terasa, gerimis di hatiku makin lebat! Darahku mendidih. Mozaik-mozaik itu.... mereka tak henti-hentinya menyerbu pikiranku.

Tak berbeda dengan Laras dan aku. Senyum pun berulang kali mendapat perlakuan kasar dari bapak. Tiada hari tanpa air mata. Dia kerap dipukul, disiksa, dan dimarahi habis-habisan oleh bapak. Senyum dipaksa bapak mengemis seharian. Jika tak mendapatkan uang yang diinginkan, bapak pasti marah besar dan dia dijamin tak dapat makan. Sungguh, hatiku pilu membuka luka-luka itu!! Padahal, usianya masih lagi muda: empat tahun! Senyum hampir celaka dibuat bapak.

Selalu tersenyum aku saat menyebut namamu, memandangmu, juga berada di dekatmu. Semoga hari-harimu benar-benar terus tersenyum, bahagia... Tak ada lagi air mata keperihan menetes dari matamu. Karena itulah tujuan Ibu mengubah namamu.... Aku akan menjaga mereka, bu.... Seperti pesan terakhirmu di bulan purnama.... Aku berjanji.

"Tak semudah itu kemiskinan menundukkanku. Mengobrak-abrik hidup dan nasibku!"

Hati yang Terpasung [2]





SATU SETENGAH TAHUN k e m u d i a n........

“Selamat pagi... Ada yang bisa kami bantu?” sapa salah seorang resepsionis ramah.

“Pagi,” balas Fahry tak kalah ramah, “Saya sahabat Fardan, Head Marketing di sini, bisa saya bertemu beliau?” Belum dijawab, Fahry cepat-cepat berucap, “Sebentar, tolong jangan beri tahu dulu nama saya, ya. Saya ingin buat kejutan untuknya,” serunya sumringah sambil membetulkan kerah jas, kemeja dan dasinya yang sebenarnya tidak salah posisi.

Fahry adalah sahabat Fardan sejak SMP. Kedekatan mereka terjalin sejak Fardan, Fahry, juga Tasya, kekasih Fardan mewakili sekolah untuk mengikuti perlombaan Matematika tingkat provinsi. Fahry yang lebih dulu mencintai Tasya, harus merelakan gadis idamannya dimiliki oleh sahabatnya sendiri sebagai balas budi. Baginya, persahabatan tak bisa dirusak oleh cinta. Fahry harus mengalah!! Dia yang mengetahui Fardan juga jatuh hati pada Tasya, tidak lama setelah dirinya terpikat, membiarkan gadis pujaannya itu tak pernah termiliki olehnya. Terlebih, fisik dan status sosial mereka berdua lebih dari dirinya. Hingga kini, baik Fardan maupun Tasya tak pernah tahu jika Fahry,sahabat mereka pernah jatuh hati pada wanita yang memesona kedua sahabatnya.

Selain itu, Fardan telah banyak membantu Fahry saat keluarganya dihantam berbagai musibah. Mulai dari ibunya yang mengidap penyakit ginjal, yang terkadang mesti dirawat di rumah sakit dan membutuhkan biaya besar hingga biaya sekolah adik Fahry, Rizal. Meski terkadang tempramen, Fahry tipikal orang yang selalu membuat kejutan-kejutan manis, bahkan terkadang konyol. Dia pun perhatian pada orang lain, terutama Fardan, sahabatnya.

Pagi itu Fahry baru saja tiba dari Kalimantan mengurus bisnis terbaru. Terpikir olehnya untuk singgah sebentar di Jakarta melepas rindu bersama sang sahabat yang telah lama tak bersua: Fardan. Dia ingin menghabiskan waktu untuk berbagi kisah yang telah lama tak diberinya.

“Maksud Bapak, Bapak Rudi?” tanya salah seorang resepsionis mengagetkan.

“Bukan bukan. Bapak Fardan!!”

“Maaf, Pak, Head Marketing di sini bukan Bapak Fardan, melainkan Bapak Rudi. ”

“Rudi???!” air muka Fahry berubah heran. “Head Marketing lho, Mba!!”

“Iya Pak.”

“Rudi?? Coba tolong dicek lagi. Mungkin Anda ini salah lihat!!”

“Benar Pak, kami tidak mungkin salah.”

“Lalu Fardan? Apa dia pindah posisi? Pindah jadi manajer apa?”

“Maaf, Pak. Tidak ada manajer lain bernama Fardan.”

Fahry terus memburu resepsionis itu dengan peluru pertanyaan. Ditambah emosi yang sebentar-sebentar meluap-luap. “Sekali lagi saya tegaskan, saya ingin bertemu Fardan, bukan Rudi!! Ayo, beri tahu dia, atau tunjukkan pada saya ruangannya!!” Amuk Fahry yang mengetahui Fardan tak lagi menduduki posisi manajer.

Resepsionis itu pun terkesiap. Mematung melihat tamu lelaki di hadapannya dengan wajah merah padam bersikeras ingin bertemu Fardan!! Menghardik dan menggerundel! Lelaki berkemeja biru bergaris-garis lembut yang dibalut jas hitam itu bersikukuh bahwa Fardan bekerja di perusahaan tersebut. Dengan wajah garang, Fahry terus mendesak resepsionis untuk mengecek ulang orang yang hendak dia temui. Lagi dan lagi.

“Maaf Pak, tapi, Head Marketing di perusahaan kami benar bernama Bapak Rudi Setyawan Nugroho, bukan Fardan yang Bapak cari.”

Fahry masih belum percaya. Dia terus mencecar resepsionis perusahaan hingga mereka menjadi pusat perhatian.

“Arrgggghhhhhh, yang teliti dong ngecek-nya!!!” bentak Fahry menyambar keterangan resepsionis yang menyatakan jika dia salah alamat. “Salah alamat bagaimana?? Saya tidak mungkin salah alamat. Sahabat saya bekerja di sini sebagai Head Marketing sejak empat tahun lalu!! Saya sudah lima kali ke sini! Aneh!!”emosi Fahry kian menjadi-jadi. “Atau... kalian karyawan baru sehingga tidak kenal atasan kalian sendiri???”

Kekesalan Fahry pun akhirnya tumpah! Wajahnya merah padam. Napasnya bekejar-kejaran seperti hendak memburu mangsa. Dadanya mulai sesak dan naik turun tak teratur.

“Sekali lagi maaf, Pak, tapi nama yang Bapak cari benar tidak ada. Kami sudah mengeceknya berulang kali, Pak.”

Mendengar keterangan yang didapatnya selalu sama, perasaan Fahry semakin tak karuan. Kesal dan geram. Dia mulai memencet nomor sahabatnya. Namun, tak berhasil. Sekali, dua kali, tiga kali hingga sembilan kali Fahry memijit nomor Fardan. Tetap tak ada hasil. Berpuluh sms pun tertahan. Dia coba menghubungi kerabat yang lain, yang juga berteman dengan Fardan. Tapi tetap nihil.

Hampir setengah jam Fahry menghubungi satu per satu nomor teman-teman yang tersimpan di telepon genggamnya. Beberapa tersambung, tetapi jawaban yang didapat adalah ketidaktahuan, termasuk jawaban Tasya, kekasih Fardan sejak SMU! Beberapa lainnya sibuk, nada tulalit, atau di luar jangkauan.

“Benar kalian tak kenal Fardan Ferdinan Pratama???” tanya Fahry sekali lagi sembari menyodorkan kartu nama Fardan.

Sesaat, recepsionis itu tersentak. Membisu. Salah seorang resepsionis meraih kartu nama putih bercorak emas yang disodorkan Fahry sembari menirukan nama yang diminta: Fardan Ferdinan Pratama???!!

Ya. Mereka tidak mungkin lupa. Fardan adalah sosok yang familiar di perusahaan. Ramah dan bersahaja. Tak merasa berpangkat tinggi. Tak ada satu pun karyawan yang tidak mengenalnya, OB, sekalipun!! Mereka sangat mengenal sosok Fardan.

“Haloooo,” kejut Fahry, “Kok bingung dan bengong? Bagaimana?? Ada kan???” Teriakan Fahry memancing puluhan pasang mata di loby perusahaan menonton.

“Maaf, Pak. Ka..lau Pak Fardan Ferdinan yang Bapak maksud...”

“Memang dia yang dari tadi saya maksud, gimana sih???!!” selanya dengan nada kesal.

“Beliau sudah tidak lagi bekerja di sini, Pak...,”

“Tidak bekerja di sini?? Maksudnya?”

“Maaf, Pak Fahry.. dulu, Pak Fardan memang bekerja di sini, tetapi posisi beliau sudah digantikan oleh Bapak Rudi. Bapak Fardan tidak lagi bekerja di sini sejak setahun setengah yang lalu. Beliau dikeluarkan karena menghilang.”

“Dikeluarkan??? Menghilang???”

Belum tersembuhkan kekesalan Fahry, berita lain menjemput.

“Iya, Pak.”

“Tolong jelaskan, duduk perkaranya seperti apa?!! Saya nggak ngerti!”

“Selama setengah bulan, Pak Fardan tidak pernah masuk kantor. Tak ada berita juga kabar darinya. Karenanya, pihak kantor dengan berat hati mengeluarkan keputusan seperti itu. Maaf, hanya itu yang bisa kami sampaikan, Pak.”

Seketika itu juga Fahry lemas. Semangatnya yang mula membara dan menggebu-gebu kini hilang dalam hitungan detik. Lenyap. Amarah yang sedari tadi meluap kini seperti terpendam di dalam dada.

__________00000___________

Dengan langkah berat Fahry berjalan lunglai menuju pintu utama dan perlahan keluar dari gedung bertingkat itu tanpa ada kata apa pun dari bibirnya. Terlihat gurat-gurat kesedihan dan ketidakpercayaan pada raut muka Fahry. Banyak pertanyaan yang bergelayut dalam pikiran dan benaknya. Ada apa dengan Fardan??? Mengapa selama ini dia tak memberi kabar apa pun pada dirinya, sahabatnya sendiri??? Apa yang membuat Fardan menghilang hingga perusahaan memecatnya??? Masalah apa yang membuatnya hingga seperti ini???

Tidak sedikit pertanyaan berseliweran di pikiran Fahry. Silih berganti. Dadanya kian sesak dengan membludaknya rasa ingin tahu yang tak terbendung! Tanpa pikir panjang, Fahry bergegas meluncur ke kediaman Fardan.

“Bodoh!! Aku adalah sahabat yang tak layak disebut sahabat!” umpatnya dalam hati.

Di sepanjang jalan, Fahry menyalahkan dirinyanya sendiri. Tak habis pikir jika kedatangannya ke Jakarta justru mendapat kabar yang menusuk-nusuk hatinya!

“Bagaimana mungkin, aku sampai tidak tahu kondisi Fardan??!! Sahabat terbaikku sejak sepuluh tahun silam!! Bagaimana bisa aku sampai tidak tahu jika dia dilanda masalah?? Setengah tahun lalu???!!”

Taksi berwarna biru terus meluncur di ruas-ruas ibu kota. Sesaknya kendaraan di jalan seperti tak mau tahu kondisi hati Fahry yang tengah galau. Dia berusaha kembali ke masa lalu untuk mengingat-ingat kapan terakhir berkomunikasi dengan Fardan. Namun gagal!

“Bodoh!! Bodooh!! Boddddohhh!!!!” cercanya lagi dan lagi.
-------00000-------

Hari itu, langit Jakarta mulai menggelap. Bukan karena malam yang hendak menggantikan tugas sang siang, melainkan awan hitam yang sedari pagi menggelayut di cakrawala, layaknya hati Fahry yang juga tertutup awan kelabu. Semenit kemudian, langit pun menumpahkan beban yang tak kuasa lagi ditanggungnya.

Tak peduli hujan yang mengguyur. Fahry terus menerobos jutaan titik air yang turun dari langit. Langkahnya mengayun diiringi kecipak air kepiluan. Dadanya kian sesak seperti terhimpit kegalauan dan kecemasan.

Sesampainya di rumah Fardan, tak ada apa pun yang dia temukan, kecuali hunian kosong! Fahry melempar pandangan ke segala arah. Halaman rumah ditutupi dedauan kering. Berserakan dan menumpuk di sela-sela pekarangan. Jendela kaca kusam penuh debu. Tanaman hias mati tak terurus. Di sudut taman hanya tinggal sarang burung yang tanpa penghuni!!

Meski demikian, Fahry berkali-kali mengetuk pintu. Berharap ada jawaban dari sahabat yang telah membuatnya kalang kabut. Sesekali mengayunkan gagang pintu berwarna cokelat tua. Berkehendak tak dikunci agar kegelisahannya terhapuskan. Fahry terus menggedor-gedor pintu dan berteriak memanggil nama sahabatnya itu. Dengan nada berat dan pilu, suara Fahry berlomba dengan gemuruh petir yang menggelegar sore itu.

Sayang, harapannya tak terpenuhi! Dengan pakaian basah kuyup yang melekat di tubuhnya, Fahry terkulai lemas. Dia tersungkur di depan pintu. Harapannya kandas. Sekelibat dia teringat Tasya, kekasih Fardan yang menetap di Yogja. Tanpa buang waktu Fahry pun merogoh ponselnya guna menghubungi Tasya, kekasih sahabatnya itu untuk puluhan kalinya. Namun, Tasya tak banyak bicara.

“Aku nggak tahu, Ry, di mana Fardan. Kita dah nggak bareng lagi sejak setahun setengah yang lalu. Maaf ya Ry, aku nggak bisa lama-lama, lagi sibuk banget.....” Dan sambungan pun terputus.

Lagi-lagi Fahry terkejut. Bertubi-tubi berita tak baik datang menghampiri. “Fardan putus sejak setahun setengah yang lalu??!!” kemamnya dalam hati. Dia semakin menyalahkan diri sendiri. Mengapa dia tak lagi tahu kabar sahabatnya sendiri! Bodoooohhh!!

-------00000-------

Tiga hari berlalu. Fahry masih menunggu di depan rumah Fardan. Segala usaha telah ditempuhnya. Sanak keluarga, teman sejak kecil, hingga siapa pun yang bisa didapat informasi tentang sahabatnya itu telah dihubunginya, termasuk bertanya pada orang yang lalu-lalang di ruas-ruas ibu kota dan pinggirannya. Tapi, masih belum ada petunjuk!

Setelah letih mencari seharian, Fahry pun kembali. Dia duduk dan berdiam diri di sebuah kursi kayu panjang berwarna hijau yang bertengger di halaman. Ditemani kesunyian, kehenigan, serta aroma rumput basah yang masih menyengat, Fahry terus menanti Fardan. Berharap sahabatnya itu pulang, meski harapan tersebut berlebihan dengan kabar yang tersiar di luaran. Lamunan pun membawanya pada masa silam. Masa di mana terajut kenangan manis, bingkai hidup yang memesona, dan episode persahabatan yang mengharu biru bersama Fardan.

Malam itu, pukul 21.35. Fahry menggeletak di atas kursi hijau. Lelah menikam tubuhnya. Kegundahan belum juga beranjak pergi dari benak dan pikirannya. Gelisah bercampur pilu. Harus ke mana lagi dia mesti mencari? Apa lagi yang mesti dilakukan?? “Andai orang tua Fardan masih ada, mungkin mereka lebih gelisah dan lebih tersayat,” lirih Fahry pahit.

Dia pun bersandar pada kursi yang dingin. Sesekali merebahkan badan di kursi hijau panjang di bawah rindangnya pohon jambu di pekarangan. Pandangannya menghujam pada kegelapan malam. Pikirannya menerawang jauh ke alam yang tak tergapai. Dinginnya malam memaksa marasuk ke kulitnya. Membuatnya lagi-lagi menggigil. Di sela-sela keheningan, terdengar suara derap langkah yang kian lama kian mendekat. Suara itu semakin jelas terdengar hingga membuyarkan keheningan yang tercipta. Jantungnya berdegup kencang. Darahnya mengalir lebih cepat. Dia terperanjat.

Tak lama kemudian, langkah itu mendekati pagar rumah. Suara pagar dibuka kian terdengar gamblang. Ia bertambah yakin. Sepertinya ada yang datang, begitu kira Fahry dalam hati. Karena gelapnya malam, ditambah tak ada lampu yang menyinari pekarangan, Fahry tak dapat melihat jelas siapa gerangan yang datang.

“Dan? Itu lo, kan? Daaaan!! Fardaaan, lo ke mana aja Daaaan??? Jawab gw, Daaan!!” teriak Fahry sembari bangkit dari duduknya dan meraba-raba mencari sosok yang datang. Hatinya bertambah tak keruan.

“Permisi..,” suara lembut seorang wanita memecah kesunyian. Menambah kegundahan dan kegelisahan di hati Fahry.

“Maaf. Mas ini temannya Mas Fardan ya?” tanyanya sembari mendekat dan memunculkan diri.

“I...ya. I..ya. Mba kenal Fardan?? Dia di mana ya Mba? Tolong beri tahu saya Mba. Saya temannya dari Surabaya. Tolong Mba. Berhari-hari saya sudah mencari dia, tapi nggak ketemu...” Fahry terus menembakkan peluru pertanyaan pada gadis itu. Gadis berparas ayu yang tak dikenalnya sama sekali.

“Tasya,” ujarnya memperkenalkan diri sembari menyodorkan tangan. “Paramitha Anastasya Daniel,” sambungnya melengkapi sembari tersenyum.
“Ta..sy...a? apa? Namamu?”
“Tidak perlu terkejut begitu,” ujar Tasya seakan tahu apa yang ada di dalam pikiran Fahry.

Setelah berkenalan, Tasya segera menuju rumah Fardan.
“Kamu punya kunci rumah ini???” tanya Fahry yang lagi-lagi dibuatnya tersentak.

“Iya. Nanti saya ceritakan semua di dalam. Ayo masuk. Bajumu basah semua. Nanti masuk angin. Gantilah dengan baju Fardan!” ajaknya sembari mengambilkan baju ganti.

Fahry masih mematung tak paham di pekarangan. Memandang sosok gadis ayu yang sepertinya hafal seluk beluk rumah Fardan hilang memasuki kamar! “Mengapa gadis itu tiba-tiba muncul dan memegang kunci rumah Fardan?? Siapa dia? Apa hubungan dia dengan Fardan?? Mengapa dia tahu betul letak barang-barang yang ada di rumah ini??” Satu per satu pertanyaam membuncah di benaknya. “Ah, siapa pun dia. Semoga wanita itu bisa memberiku petunjuk tentang Fardan!!”

Tak mau buang waktu. Fahry pun menerobos masuk ke rumah Fardan. Dia menebar pandangan ke setiap sudut rumah. Terperangah karena semua barang Fardan tersusun apik. Seperti diurus oleh penghuninya. Tak berdebu dan berantakan seperti yang terjadi di pekarangan sewaktu pertama kali dirinya menginjakkan kaki.

“Aku sahabat Fardan setahun yang lalu,” kisah Tasya memulai. “Aku mengajar di salah satu sekolah menengah di dekat daerah sini. Setiap pagi, aku melintasi jalan depan rumah sahabatmu ini Ry.”

“Kau tahu namaku?” tanya Fahry menguji.

“Fahry kan, namamu?”

Lagi-lagi Fahry tersebtak. Dia hanya menganggukkan kepala sembari mendengar gadis itu kembali bercerita.

“Setiap pagi juga, kulihat Fardan termenung, selalu. Wajahnya pucat. Tubuhnya kurus tak terurus. Tatapannya kosong. Dia kerap duduk di pekarangan. Di atas rumput sambil memandangi daun kering yang dimainkan tangannya. Seperti banyak hal yang dipikirkan. Berawal dari keprihatinan, akhirnya aku terseret masuk ke dalam hidupnya. Ya, kehidupannya yang tragis!”

“Apa maksudmu terseret? Juga tragis, Sya?? Apa yang terjadi dengan Fardaaan??!! Katakan padaku, di mana Fardan sekarang??” desak Fahry yang seketika bangkit dari duduknya lalu menggoyang-goyang bahu Tasya.

Fahry semakin tak mengerti. Kata tragis yang keluar dari bibir mungil Tasya kian membuatnya gundah. Satu per satu peristiwa buruk pun menghantui pikirannya! Tak mau berhenti!!

“Tenanglah, akan kuceritakan semua.”

“Aku nggak peduli!! Katakan sekarang di mana Fardaaan??!!” desak Fahry tak sabar.

“Saat itu, aku prihatin dengan kondisi Fardan. Keadaannya sangat sangat mengkhawatirkan! Kuberanikan diri untuk berkenalan waktu itu, sekadar menjadi teman berbincang. Mungkin hal itu bisa mengurangi beban pikirannya. Sebab setelah kuperhatikan, tak ada seorang pun teman yang bertandang menghiburnya,” lanjut Tasya bercerita. Dia sama sekali tak menghiraukan amukan Fahry.

“Hari-harinya terlihat sepi. Sampai suatu hari, aku tahu kalau rasa sakit hatilah yang membuat Fardan begini. Termasuk penyebab dia dipecat dari perusahaan ternama tempatnya bekerja. Aku tak mengerti mengapa Fardan begini. Tapi, ituah yang terjadi. Dan, wanita yang telah menghancurkan mimpinya itu bernama sama denganku: Paramitha Anastasya!!”

Fahry mulai terlihat tenang mendengar penuturan gadis yang baru dikenalnya beberapa menit lalu. Gadis yang tiba-tiba datang menghampiri, membukakan pintu untuknya, mengambilkan baju salin dan menyuguhkan secangkir teh hangat guna membunuh dingin yang sedari tadi menerkamnya.

“Awalnya, dia sempat terguncang saat mendengar namaku. Ada sinar kebencian yang nampak di matanya. Namun, aku berusaha yakinkan dia, meski namaku sama dengan wanita yang menyakitinya, kita tetap berbeda! Rasa sakit itulah yang membuat hidup Faradan berantakan. Kacau dan tak teratur. Dia tak bisa lagi konsentrasi. Hanya melamun seharian. Tak mau makan, minum, apalagi berbicara dengan orang lain. Dia depresi berat!”

“Depresi??”

“Ya.”

“Lalu, apa maksudmu terseret?” tanya Fahry penasaran.

“Fardan sangat terpukul dengan kejadian itu. Tasya, wanita yang paling dicintainya memilih hidup dengan orang lain yang katanya, lebih dewasa, dan mapan. Padahal Fardan, menurutku, pun sudah mapan dan dewasa. Entahlah. Aku tak mengerti jalan pikiran perempuan itu. Begitu baik dan sempurnanya Fardan. Tapi, dia lebih memilih orang lain.”

Gadis itu terus berkisah...

“Saat kondisinya seperti itu, akulah yang merawat dan menumbuhkan semangat baru dalam diri Fardan. Setiap hari, kuajak dia berbincang, apa pun yang bisa membuatnya pulih dari rasa sakit yang terus mendera. Mengajaknya bangkit dari keterpurukan yang melanda. Hari terus bergulir. Fardan mulai membuka hatinya untukku, setelah setahun peristiwa itu. Aku pun sudah sejak lama menyimpan perasaan padanya.”

Tasya terus berkisah tentang dirinya dan Fardan. Dengan mata berkaca-kaca dan terbata-bata dia menguatkan diri untuk terus berkisah dan berkisah..

“Namun, hubungan kita tak berjalan lama. Hanya dua hari!! Sehari setelah Fardan membuka dirinya untukku dan ingin menjalin hubungan yang lebih serius, dia mengakhiri hubungan ini. Katanya, sampai kapan pun dia tak bisa mencintai orang lain. Hanya Tasya dan Tasya. Tasya, kekasihnya dulu, wanita yang telah menghancurkan mimpi-mimpinya itulah yang selalu bersemayam di darah, jiwa, pikiran hingga denyut jantungnya, sampai mati!! Bagitu besar cinta Fardan pada Tasya, Ry. Hingga aku tak pernah dianggapnya. Hidupnya nyaris hancur!! Padahal, sedetik pun wanita itu tak pernah mengingat Fardan!!

Suasana tiba-tiba hening. Hanya terdengar suara isak tangis ditemani deru hujan yang turun. Sepertinya wanita mungil berambut panjang itu tak kuasa menceritakan masa-masa yang menyayat kalbunya.

“Kamu nggak apa-apa?” tanya Fahry.

“Ma..af, a..ku nggak apa-apa. Meski hanya dua hari kita menjalin hubungan, aku tetap bahagia karena bisa menemani Fardan. Menjadi sahabat baiknya, hingga kini. Karenanya, dia memberiku kepercayaan untuk mengurus rumah ini setelah kita memutuskan untuk bersahabat. Oya, Fardan pernah bercerita padaku jika dia punya sahabat dekat di Surabaya, Fahry namanya.”

“Ya, itu aku.” Sambar Fahry menyahut.

“Sudah kutanya waktu itu, mengapa dia tak menghubungimu untuk berbagi rasa. Tapi katanya, dia tak ingin menyusahkan sahabatnya itu. Dia ingin menanggung sendiri!” papar Tasya menirukan ucapan Fardan.

“Lalu sekarang Fardan di mana? Bagaimana kondisinya? Apkah baik-baik saja?”

“Kamu yang sabar ya, Ry. Fardan sudah agak lebih baik. Dia sudah berada di tempat yang tepat. Ditangani oleh orang-orang yang ahli.”

“Maksud kamu?”

“Dia ada di sini. Temuilah dia besok...” ujar Tasya sembari menyorongkan sebuah kertas.

“Apa ini?”

“Itu alamat di mana Fardan tinggal, Ry....”

Malam kian larut. Gelap pun bertambah pekat. Namun, hujan masih terus mengguyur ditemani tiupan angin yang membelai syahdu. Kini, sedikit tenang hati Fahry, meski dia belum bertemu dengan sahabatnya. Tapi paling tidak, besok dia tahu ke mana harus mencari Fardan. Tasya pamit pulang dan menyerahkan kunci rumah Fardan kepada sahabatnya, Fahry. Fardan memang sengaja menyerahkan kunci rumah itu sebelum akhirnya dia harus menginap di sebuah tempat yang kini dihuninya: RUMAH SAKIT JIWA!!

Hati yang Terpasung [1]




Bagaimana jadinya jika hati yang terpasung?? Tak sanggup melepaskan diri dari jerat yang senantiasa mengikat. Tidak mampu bergerak, apalagi berontak. Sang hati terlanjur tertaut pada satu cinta. Cinta yang dahulu selalu dimanja, dijaga, bahkan dipuja hingga membabi buta. Tapi kini, justru CINTA itu memasung hatinya.

Sebutlah pemuda itu Fardan. Tak ada yang kurang dari dirinya. Nyaris sempurna di mata wanita. Dari segi fisik, Fardanlah incaran gadis seusianya. Bahkan, wanita yang lebih tua pun berlomba merebut hati pemuda yang terkenal mapan, bertanggung jawab, ramah, dan murah senyum ini. Kapabilitasnya yang bernilai sembilan mengantar karirnya melejit menduduki posisi terpenting di sebuah perusahaan ternama di Jakarta. Sifatnya yang bersahabat, periang, penyayang, dan penyabar sanggup merontokkan hati para wanita di seantero kantor tempatnya bekerja. Namun kini apa yang terjadi dengan Fardan.

-****-

Belakangan, sikap Fardan berubah hampir seratus delapan puluh derajat. Senyumnya yang kerap mengembang setiap berpapasan dengan rekan-rekannya pun seakan sirna. Raut wajahnya yang senantiasa riang seolah musnah. Kini, hanya kemurungan dan kesedihan yang terpancar darinya.

“Hei, Dan. Baru dateng, Lo?” sapa Rizal, teman sekantornya yang kebetulan pagi itu bertemu di loby. Rizal pun langsung menenggerkan tangan kanannya di pundak Fardan layaknya dua teman karib, dan mereka pun beriringan menuju ruangan.

“Hallloooooo...,” kejut Rizal karena merasa sapaannya tak direspons sembari melambaikan tangan di depan muka Fardan, “Kenapa sih lo, pagi-pagi dah lemes banget? Pake bengong lagi!!”

“Ga apa-apa, Zal,” sahutnya lemah.

“Serius, Dan, ga apa-apa?? Sumpah!! Lo lesu banget, Dan,” Rizal tercengang, “Lo.. aneh tau ga. Lo sakit??!”

Tak ada satu kata pun meluncur dari mulutnya. Fardan kembali terdiam dengan tatapan kosong.

“Woooiii, serius gw nanya. Yeeee, malah bengong lagi. Lo sakit? Kalau sakit, ga usah masuk, Bro. Biar nanti gue yang presentasi. Nyantai aj.”

Masih tak ada jawaban.

“Buset dah!!! Gw nanya ma tembok kali???” keluh Rizal sambil menghentikan langkahnya.

“Eh, sory ,Bro,” balas Fardan gugup, ”Gue ga apa-apa. Cuma lagi banyak pikiran aj. Gue duluan ya.” Fardan pun berbalik arah lalu mempercepat langkah meninggalkan Rizal yang masih mematung tak mengerti.

“Wooooi, Daaaan.... Mau ke mana Lo??” teriak Rizal sekuat tenaga. Spontan, mereka pun jadi pusat perhatian. Namun, Fardan tak menghiraukan teriakan Rizal. Langkah kakinya semakin cepat dan menjauh hingga hilang di kerumunan karyawan.

-****-

Lagi-lagi, hari itu, Fardan tak masuk kantor. Sama seperti tujuh hari belakangan. Jika ke kantor pun, dia bergegas kembali pergi. Entah ke mana dan apa yang dia cari. Tak ada yang tahu. Kadang pulang ke rumah lagi, sesekali menghabiskan waktu sendiri. Sikapnya yang aneh mulai dipertanyakan rekan-rekan sekantor. Pasalnya, teman setimnya pernah memergokinya melamun seharian. Juga mendapatkan dirinya murung di tengah keramaian. Tak ada gairah bekerja, apalagi kelakar yang sering dilontarkannya.

Tepat tiga minggu Fardan tak ada kabar. Padahal kala itu, dia tengah menangani sebuah proyek penting. Telepon genggamnya tak bisa dihubungi. Rumahnya pun terkunci dan seperti tak pernah disinggahi. Mengetahui hal tersebut, teman dan sahabatnya pun resah. Mereka berulang kali mencari tahu penyebab keganjilan yang terjadi pada sikap sejawatnya. Atau setidaknya dapat bertemu atau mengetahui kondisi rekan kerja yang selama ini mereka cari.

Segala macam cara telah ditempuh. Termasuk mengunjungi beberapa sanak famili, sahabat, dan kerabat Fardan di Jakarta. Namun, semua nihil. Tak ada satu petunjuk pun yang bisa membantu. Dan kini, Fardan benar-benar menghilang....
-****-

Hingga lima bulan Fardan tak meninggalkan jejak. Tak ada kabar juga berita yang diterima pihak perusahaan. Akhirnya, kantor tempat Fardan bekerja memutuskan untuk mengambil sikap tegas: FARDAN DIPECAT!! Tragis. Karir yang dibangunnya dari nol kini runtuh bak dihantam bom dalam sekejap. Perusahaan kecewa dan merasa dirugikan oleh sikapnya. Padahal awalnya, pihak perusahaan memberikan sedikit waktu untuk Fardan sebelum keputusan pemecatan itu dikeluarkan. Namun, gayung tak bersambut. Fardan tak memunculkan diri. Bahkan, hingga sebulan ketetapan pemecatan Fardan, tak ada informasi apa pun tentangnya.

Karir Fardan benar-benar jatuh. Reputasinya ambruk di mata kolega. Meski demikian, kerabat Fardan merasa kehilangan sosok sahabat, sekaligus rekan kerja yang periang dan brilian itu. Namun,tak ada satu orang pun yang tahu keberadaannya, hingga saat ini, bahkan.
-****-

[bersambung ya...]

Diberdayakan oleh Blogger.

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

About Me

Foto saya
Perajut serpihan-serpihan aksara yang bergejolak dalam jiwa, bergolak, dan terserak dalam alam pikiran dan perasaan.