Hati yang Terpasung [2]





SATU SETENGAH TAHUN k e m u d i a n........

“Selamat pagi... Ada yang bisa kami bantu?” sapa salah seorang resepsionis ramah.

“Pagi,” balas Fahry tak kalah ramah, “Saya sahabat Fardan, Head Marketing di sini, bisa saya bertemu beliau?” Belum dijawab, Fahry cepat-cepat berucap, “Sebentar, tolong jangan beri tahu dulu nama saya, ya. Saya ingin buat kejutan untuknya,” serunya sumringah sambil membetulkan kerah jas, kemeja dan dasinya yang sebenarnya tidak salah posisi.

Fahry adalah sahabat Fardan sejak SMP. Kedekatan mereka terjalin sejak Fardan, Fahry, juga Tasya, kekasih Fardan mewakili sekolah untuk mengikuti perlombaan Matematika tingkat provinsi. Fahry yang lebih dulu mencintai Tasya, harus merelakan gadis idamannya dimiliki oleh sahabatnya sendiri sebagai balas budi. Baginya, persahabatan tak bisa dirusak oleh cinta. Fahry harus mengalah!! Dia yang mengetahui Fardan juga jatuh hati pada Tasya, tidak lama setelah dirinya terpikat, membiarkan gadis pujaannya itu tak pernah termiliki olehnya. Terlebih, fisik dan status sosial mereka berdua lebih dari dirinya. Hingga kini, baik Fardan maupun Tasya tak pernah tahu jika Fahry,sahabat mereka pernah jatuh hati pada wanita yang memesona kedua sahabatnya.

Selain itu, Fardan telah banyak membantu Fahry saat keluarganya dihantam berbagai musibah. Mulai dari ibunya yang mengidap penyakit ginjal, yang terkadang mesti dirawat di rumah sakit dan membutuhkan biaya besar hingga biaya sekolah adik Fahry, Rizal. Meski terkadang tempramen, Fahry tipikal orang yang selalu membuat kejutan-kejutan manis, bahkan terkadang konyol. Dia pun perhatian pada orang lain, terutama Fardan, sahabatnya.

Pagi itu Fahry baru saja tiba dari Kalimantan mengurus bisnis terbaru. Terpikir olehnya untuk singgah sebentar di Jakarta melepas rindu bersama sang sahabat yang telah lama tak bersua: Fardan. Dia ingin menghabiskan waktu untuk berbagi kisah yang telah lama tak diberinya.

“Maksud Bapak, Bapak Rudi?” tanya salah seorang resepsionis mengagetkan.

“Bukan bukan. Bapak Fardan!!”

“Maaf, Pak, Head Marketing di sini bukan Bapak Fardan, melainkan Bapak Rudi. ”

“Rudi???!” air muka Fahry berubah heran. “Head Marketing lho, Mba!!”

“Iya Pak.”

“Rudi?? Coba tolong dicek lagi. Mungkin Anda ini salah lihat!!”

“Benar Pak, kami tidak mungkin salah.”

“Lalu Fardan? Apa dia pindah posisi? Pindah jadi manajer apa?”

“Maaf, Pak. Tidak ada manajer lain bernama Fardan.”

Fahry terus memburu resepsionis itu dengan peluru pertanyaan. Ditambah emosi yang sebentar-sebentar meluap-luap. “Sekali lagi saya tegaskan, saya ingin bertemu Fardan, bukan Rudi!! Ayo, beri tahu dia, atau tunjukkan pada saya ruangannya!!” Amuk Fahry yang mengetahui Fardan tak lagi menduduki posisi manajer.

Resepsionis itu pun terkesiap. Mematung melihat tamu lelaki di hadapannya dengan wajah merah padam bersikeras ingin bertemu Fardan!! Menghardik dan menggerundel! Lelaki berkemeja biru bergaris-garis lembut yang dibalut jas hitam itu bersikukuh bahwa Fardan bekerja di perusahaan tersebut. Dengan wajah garang, Fahry terus mendesak resepsionis untuk mengecek ulang orang yang hendak dia temui. Lagi dan lagi.

“Maaf Pak, tapi, Head Marketing di perusahaan kami benar bernama Bapak Rudi Setyawan Nugroho, bukan Fardan yang Bapak cari.”

Fahry masih belum percaya. Dia terus mencecar resepsionis perusahaan hingga mereka menjadi pusat perhatian.

“Arrgggghhhhhh, yang teliti dong ngecek-nya!!!” bentak Fahry menyambar keterangan resepsionis yang menyatakan jika dia salah alamat. “Salah alamat bagaimana?? Saya tidak mungkin salah alamat. Sahabat saya bekerja di sini sebagai Head Marketing sejak empat tahun lalu!! Saya sudah lima kali ke sini! Aneh!!”emosi Fahry kian menjadi-jadi. “Atau... kalian karyawan baru sehingga tidak kenal atasan kalian sendiri???”

Kekesalan Fahry pun akhirnya tumpah! Wajahnya merah padam. Napasnya bekejar-kejaran seperti hendak memburu mangsa. Dadanya mulai sesak dan naik turun tak teratur.

“Sekali lagi maaf, Pak, tapi nama yang Bapak cari benar tidak ada. Kami sudah mengeceknya berulang kali, Pak.”

Mendengar keterangan yang didapatnya selalu sama, perasaan Fahry semakin tak karuan. Kesal dan geram. Dia mulai memencet nomor sahabatnya. Namun, tak berhasil. Sekali, dua kali, tiga kali hingga sembilan kali Fahry memijit nomor Fardan. Tetap tak ada hasil. Berpuluh sms pun tertahan. Dia coba menghubungi kerabat yang lain, yang juga berteman dengan Fardan. Tapi tetap nihil.

Hampir setengah jam Fahry menghubungi satu per satu nomor teman-teman yang tersimpan di telepon genggamnya. Beberapa tersambung, tetapi jawaban yang didapat adalah ketidaktahuan, termasuk jawaban Tasya, kekasih Fardan sejak SMU! Beberapa lainnya sibuk, nada tulalit, atau di luar jangkauan.

“Benar kalian tak kenal Fardan Ferdinan Pratama???” tanya Fahry sekali lagi sembari menyodorkan kartu nama Fardan.

Sesaat, recepsionis itu tersentak. Membisu. Salah seorang resepsionis meraih kartu nama putih bercorak emas yang disodorkan Fahry sembari menirukan nama yang diminta: Fardan Ferdinan Pratama???!!

Ya. Mereka tidak mungkin lupa. Fardan adalah sosok yang familiar di perusahaan. Ramah dan bersahaja. Tak merasa berpangkat tinggi. Tak ada satu pun karyawan yang tidak mengenalnya, OB, sekalipun!! Mereka sangat mengenal sosok Fardan.

“Haloooo,” kejut Fahry, “Kok bingung dan bengong? Bagaimana?? Ada kan???” Teriakan Fahry memancing puluhan pasang mata di loby perusahaan menonton.

“Maaf, Pak. Ka..lau Pak Fardan Ferdinan yang Bapak maksud...”

“Memang dia yang dari tadi saya maksud, gimana sih???!!” selanya dengan nada kesal.

“Beliau sudah tidak lagi bekerja di sini, Pak...,”

“Tidak bekerja di sini?? Maksudnya?”

“Maaf, Pak Fahry.. dulu, Pak Fardan memang bekerja di sini, tetapi posisi beliau sudah digantikan oleh Bapak Rudi. Bapak Fardan tidak lagi bekerja di sini sejak setahun setengah yang lalu. Beliau dikeluarkan karena menghilang.”

“Dikeluarkan??? Menghilang???”

Belum tersembuhkan kekesalan Fahry, berita lain menjemput.

“Iya, Pak.”

“Tolong jelaskan, duduk perkaranya seperti apa?!! Saya nggak ngerti!”

“Selama setengah bulan, Pak Fardan tidak pernah masuk kantor. Tak ada berita juga kabar darinya. Karenanya, pihak kantor dengan berat hati mengeluarkan keputusan seperti itu. Maaf, hanya itu yang bisa kami sampaikan, Pak.”

Seketika itu juga Fahry lemas. Semangatnya yang mula membara dan menggebu-gebu kini hilang dalam hitungan detik. Lenyap. Amarah yang sedari tadi meluap kini seperti terpendam di dalam dada.

__________00000___________

Dengan langkah berat Fahry berjalan lunglai menuju pintu utama dan perlahan keluar dari gedung bertingkat itu tanpa ada kata apa pun dari bibirnya. Terlihat gurat-gurat kesedihan dan ketidakpercayaan pada raut muka Fahry. Banyak pertanyaan yang bergelayut dalam pikiran dan benaknya. Ada apa dengan Fardan??? Mengapa selama ini dia tak memberi kabar apa pun pada dirinya, sahabatnya sendiri??? Apa yang membuat Fardan menghilang hingga perusahaan memecatnya??? Masalah apa yang membuatnya hingga seperti ini???

Tidak sedikit pertanyaan berseliweran di pikiran Fahry. Silih berganti. Dadanya kian sesak dengan membludaknya rasa ingin tahu yang tak terbendung! Tanpa pikir panjang, Fahry bergegas meluncur ke kediaman Fardan.

“Bodoh!! Aku adalah sahabat yang tak layak disebut sahabat!” umpatnya dalam hati.

Di sepanjang jalan, Fahry menyalahkan dirinyanya sendiri. Tak habis pikir jika kedatangannya ke Jakarta justru mendapat kabar yang menusuk-nusuk hatinya!

“Bagaimana mungkin, aku sampai tidak tahu kondisi Fardan??!! Sahabat terbaikku sejak sepuluh tahun silam!! Bagaimana bisa aku sampai tidak tahu jika dia dilanda masalah?? Setengah tahun lalu???!!”

Taksi berwarna biru terus meluncur di ruas-ruas ibu kota. Sesaknya kendaraan di jalan seperti tak mau tahu kondisi hati Fahry yang tengah galau. Dia berusaha kembali ke masa lalu untuk mengingat-ingat kapan terakhir berkomunikasi dengan Fardan. Namun gagal!

“Bodoh!! Bodooh!! Boddddohhh!!!!” cercanya lagi dan lagi.
-------00000-------

Hari itu, langit Jakarta mulai menggelap. Bukan karena malam yang hendak menggantikan tugas sang siang, melainkan awan hitam yang sedari pagi menggelayut di cakrawala, layaknya hati Fahry yang juga tertutup awan kelabu. Semenit kemudian, langit pun menumpahkan beban yang tak kuasa lagi ditanggungnya.

Tak peduli hujan yang mengguyur. Fahry terus menerobos jutaan titik air yang turun dari langit. Langkahnya mengayun diiringi kecipak air kepiluan. Dadanya kian sesak seperti terhimpit kegalauan dan kecemasan.

Sesampainya di rumah Fardan, tak ada apa pun yang dia temukan, kecuali hunian kosong! Fahry melempar pandangan ke segala arah. Halaman rumah ditutupi dedauan kering. Berserakan dan menumpuk di sela-sela pekarangan. Jendela kaca kusam penuh debu. Tanaman hias mati tak terurus. Di sudut taman hanya tinggal sarang burung yang tanpa penghuni!!

Meski demikian, Fahry berkali-kali mengetuk pintu. Berharap ada jawaban dari sahabat yang telah membuatnya kalang kabut. Sesekali mengayunkan gagang pintu berwarna cokelat tua. Berkehendak tak dikunci agar kegelisahannya terhapuskan. Fahry terus menggedor-gedor pintu dan berteriak memanggil nama sahabatnya itu. Dengan nada berat dan pilu, suara Fahry berlomba dengan gemuruh petir yang menggelegar sore itu.

Sayang, harapannya tak terpenuhi! Dengan pakaian basah kuyup yang melekat di tubuhnya, Fahry terkulai lemas. Dia tersungkur di depan pintu. Harapannya kandas. Sekelibat dia teringat Tasya, kekasih Fardan yang menetap di Yogja. Tanpa buang waktu Fahry pun merogoh ponselnya guna menghubungi Tasya, kekasih sahabatnya itu untuk puluhan kalinya. Namun, Tasya tak banyak bicara.

“Aku nggak tahu, Ry, di mana Fardan. Kita dah nggak bareng lagi sejak setahun setengah yang lalu. Maaf ya Ry, aku nggak bisa lama-lama, lagi sibuk banget.....” Dan sambungan pun terputus.

Lagi-lagi Fahry terkejut. Bertubi-tubi berita tak baik datang menghampiri. “Fardan putus sejak setahun setengah yang lalu??!!” kemamnya dalam hati. Dia semakin menyalahkan diri sendiri. Mengapa dia tak lagi tahu kabar sahabatnya sendiri! Bodoooohhh!!

-------00000-------

Tiga hari berlalu. Fahry masih menunggu di depan rumah Fardan. Segala usaha telah ditempuhnya. Sanak keluarga, teman sejak kecil, hingga siapa pun yang bisa didapat informasi tentang sahabatnya itu telah dihubunginya, termasuk bertanya pada orang yang lalu-lalang di ruas-ruas ibu kota dan pinggirannya. Tapi, masih belum ada petunjuk!

Setelah letih mencari seharian, Fahry pun kembali. Dia duduk dan berdiam diri di sebuah kursi kayu panjang berwarna hijau yang bertengger di halaman. Ditemani kesunyian, kehenigan, serta aroma rumput basah yang masih menyengat, Fahry terus menanti Fardan. Berharap sahabatnya itu pulang, meski harapan tersebut berlebihan dengan kabar yang tersiar di luaran. Lamunan pun membawanya pada masa silam. Masa di mana terajut kenangan manis, bingkai hidup yang memesona, dan episode persahabatan yang mengharu biru bersama Fardan.

Malam itu, pukul 21.35. Fahry menggeletak di atas kursi hijau. Lelah menikam tubuhnya. Kegundahan belum juga beranjak pergi dari benak dan pikirannya. Gelisah bercampur pilu. Harus ke mana lagi dia mesti mencari? Apa lagi yang mesti dilakukan?? “Andai orang tua Fardan masih ada, mungkin mereka lebih gelisah dan lebih tersayat,” lirih Fahry pahit.

Dia pun bersandar pada kursi yang dingin. Sesekali merebahkan badan di kursi hijau panjang di bawah rindangnya pohon jambu di pekarangan. Pandangannya menghujam pada kegelapan malam. Pikirannya menerawang jauh ke alam yang tak tergapai. Dinginnya malam memaksa marasuk ke kulitnya. Membuatnya lagi-lagi menggigil. Di sela-sela keheningan, terdengar suara derap langkah yang kian lama kian mendekat. Suara itu semakin jelas terdengar hingga membuyarkan keheningan yang tercipta. Jantungnya berdegup kencang. Darahnya mengalir lebih cepat. Dia terperanjat.

Tak lama kemudian, langkah itu mendekati pagar rumah. Suara pagar dibuka kian terdengar gamblang. Ia bertambah yakin. Sepertinya ada yang datang, begitu kira Fahry dalam hati. Karena gelapnya malam, ditambah tak ada lampu yang menyinari pekarangan, Fahry tak dapat melihat jelas siapa gerangan yang datang.

“Dan? Itu lo, kan? Daaaan!! Fardaaan, lo ke mana aja Daaaan??? Jawab gw, Daaan!!” teriak Fahry sembari bangkit dari duduknya dan meraba-raba mencari sosok yang datang. Hatinya bertambah tak keruan.

“Permisi..,” suara lembut seorang wanita memecah kesunyian. Menambah kegundahan dan kegelisahan di hati Fahry.

“Maaf. Mas ini temannya Mas Fardan ya?” tanyanya sembari mendekat dan memunculkan diri.

“I...ya. I..ya. Mba kenal Fardan?? Dia di mana ya Mba? Tolong beri tahu saya Mba. Saya temannya dari Surabaya. Tolong Mba. Berhari-hari saya sudah mencari dia, tapi nggak ketemu...” Fahry terus menembakkan peluru pertanyaan pada gadis itu. Gadis berparas ayu yang tak dikenalnya sama sekali.

“Tasya,” ujarnya memperkenalkan diri sembari menyodorkan tangan. “Paramitha Anastasya Daniel,” sambungnya melengkapi sembari tersenyum.
“Ta..sy...a? apa? Namamu?”
“Tidak perlu terkejut begitu,” ujar Tasya seakan tahu apa yang ada di dalam pikiran Fahry.

Setelah berkenalan, Tasya segera menuju rumah Fardan.
“Kamu punya kunci rumah ini???” tanya Fahry yang lagi-lagi dibuatnya tersentak.

“Iya. Nanti saya ceritakan semua di dalam. Ayo masuk. Bajumu basah semua. Nanti masuk angin. Gantilah dengan baju Fardan!” ajaknya sembari mengambilkan baju ganti.

Fahry masih mematung tak paham di pekarangan. Memandang sosok gadis ayu yang sepertinya hafal seluk beluk rumah Fardan hilang memasuki kamar! “Mengapa gadis itu tiba-tiba muncul dan memegang kunci rumah Fardan?? Siapa dia? Apa hubungan dia dengan Fardan?? Mengapa dia tahu betul letak barang-barang yang ada di rumah ini??” Satu per satu pertanyaam membuncah di benaknya. “Ah, siapa pun dia. Semoga wanita itu bisa memberiku petunjuk tentang Fardan!!”

Tak mau buang waktu. Fahry pun menerobos masuk ke rumah Fardan. Dia menebar pandangan ke setiap sudut rumah. Terperangah karena semua barang Fardan tersusun apik. Seperti diurus oleh penghuninya. Tak berdebu dan berantakan seperti yang terjadi di pekarangan sewaktu pertama kali dirinya menginjakkan kaki.

“Aku sahabat Fardan setahun yang lalu,” kisah Tasya memulai. “Aku mengajar di salah satu sekolah menengah di dekat daerah sini. Setiap pagi, aku melintasi jalan depan rumah sahabatmu ini Ry.”

“Kau tahu namaku?” tanya Fahry menguji.

“Fahry kan, namamu?”

Lagi-lagi Fahry tersebtak. Dia hanya menganggukkan kepala sembari mendengar gadis itu kembali bercerita.

“Setiap pagi juga, kulihat Fardan termenung, selalu. Wajahnya pucat. Tubuhnya kurus tak terurus. Tatapannya kosong. Dia kerap duduk di pekarangan. Di atas rumput sambil memandangi daun kering yang dimainkan tangannya. Seperti banyak hal yang dipikirkan. Berawal dari keprihatinan, akhirnya aku terseret masuk ke dalam hidupnya. Ya, kehidupannya yang tragis!”

“Apa maksudmu terseret? Juga tragis, Sya?? Apa yang terjadi dengan Fardaaan??!! Katakan padaku, di mana Fardan sekarang??” desak Fahry yang seketika bangkit dari duduknya lalu menggoyang-goyang bahu Tasya.

Fahry semakin tak mengerti. Kata tragis yang keluar dari bibir mungil Tasya kian membuatnya gundah. Satu per satu peristiwa buruk pun menghantui pikirannya! Tak mau berhenti!!

“Tenanglah, akan kuceritakan semua.”

“Aku nggak peduli!! Katakan sekarang di mana Fardaaan??!!” desak Fahry tak sabar.

“Saat itu, aku prihatin dengan kondisi Fardan. Keadaannya sangat sangat mengkhawatirkan! Kuberanikan diri untuk berkenalan waktu itu, sekadar menjadi teman berbincang. Mungkin hal itu bisa mengurangi beban pikirannya. Sebab setelah kuperhatikan, tak ada seorang pun teman yang bertandang menghiburnya,” lanjut Tasya bercerita. Dia sama sekali tak menghiraukan amukan Fahry.

“Hari-harinya terlihat sepi. Sampai suatu hari, aku tahu kalau rasa sakit hatilah yang membuat Fardan begini. Termasuk penyebab dia dipecat dari perusahaan ternama tempatnya bekerja. Aku tak mengerti mengapa Fardan begini. Tapi, ituah yang terjadi. Dan, wanita yang telah menghancurkan mimpinya itu bernama sama denganku: Paramitha Anastasya!!”

Fahry mulai terlihat tenang mendengar penuturan gadis yang baru dikenalnya beberapa menit lalu. Gadis yang tiba-tiba datang menghampiri, membukakan pintu untuknya, mengambilkan baju salin dan menyuguhkan secangkir teh hangat guna membunuh dingin yang sedari tadi menerkamnya.

“Awalnya, dia sempat terguncang saat mendengar namaku. Ada sinar kebencian yang nampak di matanya. Namun, aku berusaha yakinkan dia, meski namaku sama dengan wanita yang menyakitinya, kita tetap berbeda! Rasa sakit itulah yang membuat hidup Faradan berantakan. Kacau dan tak teratur. Dia tak bisa lagi konsentrasi. Hanya melamun seharian. Tak mau makan, minum, apalagi berbicara dengan orang lain. Dia depresi berat!”

“Depresi??”

“Ya.”

“Lalu, apa maksudmu terseret?” tanya Fahry penasaran.

“Fardan sangat terpukul dengan kejadian itu. Tasya, wanita yang paling dicintainya memilih hidup dengan orang lain yang katanya, lebih dewasa, dan mapan. Padahal Fardan, menurutku, pun sudah mapan dan dewasa. Entahlah. Aku tak mengerti jalan pikiran perempuan itu. Begitu baik dan sempurnanya Fardan. Tapi, dia lebih memilih orang lain.”

Gadis itu terus berkisah...

“Saat kondisinya seperti itu, akulah yang merawat dan menumbuhkan semangat baru dalam diri Fardan. Setiap hari, kuajak dia berbincang, apa pun yang bisa membuatnya pulih dari rasa sakit yang terus mendera. Mengajaknya bangkit dari keterpurukan yang melanda. Hari terus bergulir. Fardan mulai membuka hatinya untukku, setelah setahun peristiwa itu. Aku pun sudah sejak lama menyimpan perasaan padanya.”

Tasya terus berkisah tentang dirinya dan Fardan. Dengan mata berkaca-kaca dan terbata-bata dia menguatkan diri untuk terus berkisah dan berkisah..

“Namun, hubungan kita tak berjalan lama. Hanya dua hari!! Sehari setelah Fardan membuka dirinya untukku dan ingin menjalin hubungan yang lebih serius, dia mengakhiri hubungan ini. Katanya, sampai kapan pun dia tak bisa mencintai orang lain. Hanya Tasya dan Tasya. Tasya, kekasihnya dulu, wanita yang telah menghancurkan mimpi-mimpinya itulah yang selalu bersemayam di darah, jiwa, pikiran hingga denyut jantungnya, sampai mati!! Bagitu besar cinta Fardan pada Tasya, Ry. Hingga aku tak pernah dianggapnya. Hidupnya nyaris hancur!! Padahal, sedetik pun wanita itu tak pernah mengingat Fardan!!

Suasana tiba-tiba hening. Hanya terdengar suara isak tangis ditemani deru hujan yang turun. Sepertinya wanita mungil berambut panjang itu tak kuasa menceritakan masa-masa yang menyayat kalbunya.

“Kamu nggak apa-apa?” tanya Fahry.

“Ma..af, a..ku nggak apa-apa. Meski hanya dua hari kita menjalin hubungan, aku tetap bahagia karena bisa menemani Fardan. Menjadi sahabat baiknya, hingga kini. Karenanya, dia memberiku kepercayaan untuk mengurus rumah ini setelah kita memutuskan untuk bersahabat. Oya, Fardan pernah bercerita padaku jika dia punya sahabat dekat di Surabaya, Fahry namanya.”

“Ya, itu aku.” Sambar Fahry menyahut.

“Sudah kutanya waktu itu, mengapa dia tak menghubungimu untuk berbagi rasa. Tapi katanya, dia tak ingin menyusahkan sahabatnya itu. Dia ingin menanggung sendiri!” papar Tasya menirukan ucapan Fardan.

“Lalu sekarang Fardan di mana? Bagaimana kondisinya? Apkah baik-baik saja?”

“Kamu yang sabar ya, Ry. Fardan sudah agak lebih baik. Dia sudah berada di tempat yang tepat. Ditangani oleh orang-orang yang ahli.”

“Maksud kamu?”

“Dia ada di sini. Temuilah dia besok...” ujar Tasya sembari menyorongkan sebuah kertas.

“Apa ini?”

“Itu alamat di mana Fardan tinggal, Ry....”

Malam kian larut. Gelap pun bertambah pekat. Namun, hujan masih terus mengguyur ditemani tiupan angin yang membelai syahdu. Kini, sedikit tenang hati Fahry, meski dia belum bertemu dengan sahabatnya. Tapi paling tidak, besok dia tahu ke mana harus mencari Fardan. Tasya pamit pulang dan menyerahkan kunci rumah Fardan kepada sahabatnya, Fahry. Fardan memang sengaja menyerahkan kunci rumah itu sebelum akhirnya dia harus menginap di sebuah tempat yang kini dihuninya: RUMAH SAKIT JIWA!!

Hati yang Terpasung [1]




Bagaimana jadinya jika hati yang terpasung?? Tak sanggup melepaskan diri dari jerat yang senantiasa mengikat. Tidak mampu bergerak, apalagi berontak. Sang hati terlanjur tertaut pada satu cinta. Cinta yang dahulu selalu dimanja, dijaga, bahkan dipuja hingga membabi buta. Tapi kini, justru CINTA itu memasung hatinya.

Sebutlah pemuda itu Fardan. Tak ada yang kurang dari dirinya. Nyaris sempurna di mata wanita. Dari segi fisik, Fardanlah incaran gadis seusianya. Bahkan, wanita yang lebih tua pun berlomba merebut hati pemuda yang terkenal mapan, bertanggung jawab, ramah, dan murah senyum ini. Kapabilitasnya yang bernilai sembilan mengantar karirnya melejit menduduki posisi terpenting di sebuah perusahaan ternama di Jakarta. Sifatnya yang bersahabat, periang, penyayang, dan penyabar sanggup merontokkan hati para wanita di seantero kantor tempatnya bekerja. Namun kini apa yang terjadi dengan Fardan.

-****-

Belakangan, sikap Fardan berubah hampir seratus delapan puluh derajat. Senyumnya yang kerap mengembang setiap berpapasan dengan rekan-rekannya pun seakan sirna. Raut wajahnya yang senantiasa riang seolah musnah. Kini, hanya kemurungan dan kesedihan yang terpancar darinya.

“Hei, Dan. Baru dateng, Lo?” sapa Rizal, teman sekantornya yang kebetulan pagi itu bertemu di loby. Rizal pun langsung menenggerkan tangan kanannya di pundak Fardan layaknya dua teman karib, dan mereka pun beriringan menuju ruangan.

“Hallloooooo...,” kejut Rizal karena merasa sapaannya tak direspons sembari melambaikan tangan di depan muka Fardan, “Kenapa sih lo, pagi-pagi dah lemes banget? Pake bengong lagi!!”

“Ga apa-apa, Zal,” sahutnya lemah.

“Serius, Dan, ga apa-apa?? Sumpah!! Lo lesu banget, Dan,” Rizal tercengang, “Lo.. aneh tau ga. Lo sakit??!”

Tak ada satu kata pun meluncur dari mulutnya. Fardan kembali terdiam dengan tatapan kosong.

“Woooiii, serius gw nanya. Yeeee, malah bengong lagi. Lo sakit? Kalau sakit, ga usah masuk, Bro. Biar nanti gue yang presentasi. Nyantai aj.”

Masih tak ada jawaban.

“Buset dah!!! Gw nanya ma tembok kali???” keluh Rizal sambil menghentikan langkahnya.

“Eh, sory ,Bro,” balas Fardan gugup, ”Gue ga apa-apa. Cuma lagi banyak pikiran aj. Gue duluan ya.” Fardan pun berbalik arah lalu mempercepat langkah meninggalkan Rizal yang masih mematung tak mengerti.

“Wooooi, Daaaan.... Mau ke mana Lo??” teriak Rizal sekuat tenaga. Spontan, mereka pun jadi pusat perhatian. Namun, Fardan tak menghiraukan teriakan Rizal. Langkah kakinya semakin cepat dan menjauh hingga hilang di kerumunan karyawan.

-****-

Lagi-lagi, hari itu, Fardan tak masuk kantor. Sama seperti tujuh hari belakangan. Jika ke kantor pun, dia bergegas kembali pergi. Entah ke mana dan apa yang dia cari. Tak ada yang tahu. Kadang pulang ke rumah lagi, sesekali menghabiskan waktu sendiri. Sikapnya yang aneh mulai dipertanyakan rekan-rekan sekantor. Pasalnya, teman setimnya pernah memergokinya melamun seharian. Juga mendapatkan dirinya murung di tengah keramaian. Tak ada gairah bekerja, apalagi kelakar yang sering dilontarkannya.

Tepat tiga minggu Fardan tak ada kabar. Padahal kala itu, dia tengah menangani sebuah proyek penting. Telepon genggamnya tak bisa dihubungi. Rumahnya pun terkunci dan seperti tak pernah disinggahi. Mengetahui hal tersebut, teman dan sahabatnya pun resah. Mereka berulang kali mencari tahu penyebab keganjilan yang terjadi pada sikap sejawatnya. Atau setidaknya dapat bertemu atau mengetahui kondisi rekan kerja yang selama ini mereka cari.

Segala macam cara telah ditempuh. Termasuk mengunjungi beberapa sanak famili, sahabat, dan kerabat Fardan di Jakarta. Namun, semua nihil. Tak ada satu petunjuk pun yang bisa membantu. Dan kini, Fardan benar-benar menghilang....
-****-

Hingga lima bulan Fardan tak meninggalkan jejak. Tak ada kabar juga berita yang diterima pihak perusahaan. Akhirnya, kantor tempat Fardan bekerja memutuskan untuk mengambil sikap tegas: FARDAN DIPECAT!! Tragis. Karir yang dibangunnya dari nol kini runtuh bak dihantam bom dalam sekejap. Perusahaan kecewa dan merasa dirugikan oleh sikapnya. Padahal awalnya, pihak perusahaan memberikan sedikit waktu untuk Fardan sebelum keputusan pemecatan itu dikeluarkan. Namun, gayung tak bersambut. Fardan tak memunculkan diri. Bahkan, hingga sebulan ketetapan pemecatan Fardan, tak ada informasi apa pun tentangnya.

Karir Fardan benar-benar jatuh. Reputasinya ambruk di mata kolega. Meski demikian, kerabat Fardan merasa kehilangan sosok sahabat, sekaligus rekan kerja yang periang dan brilian itu. Namun,tak ada satu orang pun yang tahu keberadaannya, hingga saat ini, bahkan.
-****-

[bersambung ya...]

Diberdayakan oleh Blogger.

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

About Me

Foto saya
Perajut serpihan-serpihan aksara yang bergejolak dalam jiwa, bergolak, dan terserak dalam alam pikiran dan perasaan.