Peristiwa di senja yang jingga







/1/

Bbbkk… bbbkkk… bbbkkk…bbbkkkk...

“Berhenti berhenti berhenti!!!!”

Aku terperanjat. Seorang lelaki paruh baya tiba-tiba berteriak sambil memukul-mukul badan bis yang sedang kunaiki. Teriakannya membuyarkan khayalanku yang tengah berjelajah ke negeri imaji.

“Wooiii, brengsek!! Turun Lo!!!”

“Turuuuuuun!!” serunya lagi.

Pekiknya tertuju pada seorang pemuda berkaos biru yang baru saja naik terengah-engah. Kusimak lelaki yang berteriak-teriak itu. Dia bertubuh tinggi. Dengan jins yang membalut kekar tubuhnya serta sedikit tato yang mengintip dari lengan kaos hitamnya, dia tampak tak begitu menyeramkan sebenarnya. Lelaki itu mematung di pintu depan metromini yang hendak berbalik arah. Berdiri tepat di dekatku yang duduk di depan pintu.

“Ma..af Bang... Saya cuma punya satu,” tukas pemuda berbaju biru dari dalam bis ketakutan.

“Halah. Brengsek Lo! Turun!!!”

Pemuda itu kian pucat.

“Buka!”

“Saya cuma punya satu...”

"Gue nggak peduli! Buka!!”

“Jangan, Bang. Ini punya saya.”

“Kagak ngerti bahasa gue Lo? Hah?”

“Ngerti Bang... tapi... Saya cuma punya satu Bang.”

“Gue nggak mau tahu. Buka!!”

“Tapi, Bang...”

Wajah pemuda berbaju biru itu bertambah tegang. Tubuhnya gemetar. Sementara lelaki di luar masih terus menggedor-gedor pintu. Kulihat pemuda yang ditujunya kian menciut. Mencari perlindungan di balik penumpang yang berdiri berhimpitan. Dia kian menyeruak ke jejalan penumpang bis. Berpuluh pasang mata memandangnya. Heran diliputi kekhawatiran. Tak ada yang berkutik. Masih dari luar bis, lelaki itu makin keras berseru.


“Brengsek Lo ya! Lo kagak mau buka tuh kaos??!” hardiknya lebih keras. “Gue matiin juga Lo!”

Para penumpang terbengong-bengong. Mereka semua terlihat ketakutan, termasuk aku. Tak berani berbuat sesuatu. Tak ada yang bersuara, kecuali suara mereka berdua yang beradu. Tegang. Seketika, suara tangis seorang bayi pecah. Suasana kian mendebarkan! Sebagian penumpang perempuan yang kebanyakan ibu-ibu lebih memilih turun diiringi kecemasan.

“Brengsek!!”

Lelaki bertubuh kekar itu naik pitam. Wajahnya merah. Napasnya naik turun. Beringasnya mulai terlihat. Dia pun menerobos masuk bis. Tangannya berusaha menggapai tubuh pemuda berbaju biru itu. Sekuat daya menyingkirkan penumpang yang mengahalangi niatnya.


“Woi woi woiii, apa-apaan sih ini?” Kenek metromini mencoba melerai.

Tak dihiraukan. Tangannya yang kekar terus berupaya menggapai pemuda tadi.

“Jangan berantem di sini dong!!” teriak salah seorang penumpang sambil menahan tubuhnya yang terus berontak.

“Diem Lo semua!!”

Tubuhnya masih meronta-ronta.

“Gue nggak ada urusan sama Lo!” bentak lelaki tu tak kalah emosi.

“Urusan gue cuma sama dia!” wajahnya menunjuk ke arah pemuda berbaju biru tadi.

Malang, tubuh sang pemuda mampu diraihnya.

“Bukkkkkkk... Buuukkkkk.” Dua tonjokan pun mampir di wajahnya. Dia terus memaksa pemuda itu untuk membuka kaos. Tanpa berpikir lagi, pemuda tadi bersedia menuruti kemauannya. Tak ingin peristiwa itu bertambah panas, para penumpang berpayah-payah mengeluarkan lelaki itu.

“Jalan Bang jalaaan... Jalaaan....” serempak para penumpang teriak saat mereka berhasil mengeluarkan pembuat onar dari kendaraan yang mereka tumpangi.

Dan mobil pun melesat meninggalkan lelaki bertubuh kekar itu.

/2/

Lelaki berkaos biru itu masih terlihat gugup. Dia terlihat shok. Tubuhnya lemas. Dipersilakan dia duduk oleh seorang bapak-bapak yang terenyuh. Kaos yang berada di tangannya digenggamnya erat-erat. Sesekali dilekatkan ke bagian wajahnya yang lebam. Tubuhnya gemetar. Mukanya meringis menahan sakit. Ada sedikit darah mengalir dari ujung bibirnya.

“Kenapa sih sampe begini? Ada urusan apa lo sama dia?” tanya seorang lelaki penasaran.

“Iya, sampe ditonjok gitu. Abis ngapain emangnya?” sambar ibu-ibu yang duduk di belakangku. Sepertinya, hanya aku dan dia perempuan yang tak turun saat peristiwa itu terjadi.

Pemuda itu bergeming. Mengacuhkan rasa penasaran penumpang. Mungkin sedang menenangkan diri, batinku membaca kondisinya. Dia terlihat sangat terpukul.

“I..ni Bang...” timpalnya pelan. “Gara-ga..ra ini...” Tangan kanannya yang memegang kaus diangkat.

“Hah, kaos? Lo abis nyuri kaos?” tanya penumpang lain curiga.

“Iya, jangan-jangan Lo abis maling lagi,” celetuk yang lain.

“Nggak Mas... I..ni gara-gara saya pake kaus biru, punya kelompok sepak bola lain!”

“Ya ampuuun...” seru mereka serempak tak percaya. Beberapa orang terlihat menggelengkan kepala.

“Dia dari Jakarta?” kali ini seorang bapak bertanya.

Pemuda itu mengangguk.

Dan para penumpang pun riuh dengan jawaban pemuda tadi. Sementara aku, berdiskusi sendiri dengan pikiranku yang berusaha keras memahami peristiwa tadi. Hanya gara-gara orang lain pake kaus bola kebanggaannya emosi mudah sekali tersulut?? Bukankah setiap orang punya hak untuk mengidolakan siapa pun? Tak kenal RAS atau negara. Tak pandang dia lelaki atau perempuan. Marilah hargai perbedaan. Mengapa kita harus memaksakan kehendak? Bagaimana pun kita tetap bersaudara, bukan? Ah, aku masih tak paham.

Dan bis yang kutumpangi pun terus melesat di keramaian ruas-ruas ibu kota. Melaju meninggalkan sekeping peristiwa di senja yang jingga.

Pesan Terakhir




“Tak ada yang akan memperbaiki kehidupanmu jika kau tak mau dan tak mampu memperbaikinya sendiri.” (Bertolt Brecht)




Malam merambat gelap. Aku masih berjalan gontai menyusuri gang-gang sempit dan kotor. Di sepanjang gang ini berdiri kumuh pemukiman warga pendatang dari penjuru nusantara. Tapi kebanyakan, yang kutahu dari wilayah Jawa.

Dengan tubuh lemas, aku melangkah setapak demi setapak. Tak kutemui seorang pun di lorong ini. Kecuali di mulut gang tadi. Ya, di sana ada warung kopi milik Mak Yoyon. Warung itu tak pernah sepi. Meski hanya menjajakan kopi susu, teh hangat, dan mie rebus. Banyak bapak-bapak, om-om, juga pemuda yang tidak jelas pekerjaannya berkumpul di sana. Yang selalu kulihat, mereka sering main kartu, tertawa-tawa, dan menggoda para gadis yang masih sudi lewat gang busuk ini. Tidak pagi, sore, malam atau subuh. Kartulah yang selalu mereka pegang, juga makanan barang kali, tidak lain!

Dinginnya angin malam yang menari-nari semakin menusuk-nusuk kulitku. Setelah seharian mengamen, menjual koran, dan menyemir, aku belum juga ditikam kantuk. Katup mata ini sepertinya masih ingin melihat busuknya kondisi yang kualami. Langkahku masih terus menapaki ruas gang becek yang bercampur sampah-sampah basah. Sisa-sisa nasi yang berhamburan di sana-sini tak kalah meramaikan pemandangan rusak ini.

Semakin dalam aku memasuki gang sempit itu, semakin menyengat bau busuk yang menyiksa hidungku. Bau bacin, sampah yang berhamburan, dan tanah basah bercampur lumpur menciptakan aroma ‘wangi’ ala gang sempit dan kotor ini! Bau sudah merebak di setiap sudut-sudut kecil gang. Tak ada yang lolos untuk tidak menciumnya! Sama sekali!

Di depanku, tong-tong besar yang digunakan untuk menampung sampah tak lagi berdiri gagah di tempatnya. Ia sudah tergeletak di tengah jalan. Rupanya dari sanalah sebagian bau busuk itu berasal. Entah siapa yang membuatnya tumbang. Isinya terburai tak keruan. Tak ada yang peduli dengan semua itu, termasuk aku!

Aku terus melangkah. Kulihat sekelompok tikus berkejar-kejaran senang. Berlari ke sana ke mari di depanku mengintai makanan. Ada juga teman-teman mereka sepermainan: kecoa dan lalat yang sibuk berterbangan. Mungkinkah mereka sekeluarga? Jika iya, iri aku dibuatnya. Mereka terlihat kompak dan bahagia.

Belum lagi tanah cokelat yang lengket ini, huuh, membuatku harus bekerja ekstra karena tanah-tanah itu menempel di bawah sandal jepitku! Ditambah lubang-lubang besar yang sudah pasti menampung air jika turun hujan. Tentulah menyempurnakan busuknya tempat ini!! Kalian bisa bayangkan sendiri, bukan?

Jangan aneh, Kawan. Pemandangan itu sudah jadi santapanku tiap waktu. Ya, karena di tempat inilah aku bermukim. Di sana, di ujung gang ini yang terkenal bau busuk dan kotor! Sudah hampir setahun aku tinggal di sini.

Bagaimana lagi? Hanya tempat inilah tempat aku tinggal bersama dua adikku yang masih kecil-kecil. Tak terbilang berapa kali kami tidur di pinggir jalan, di bawah jembatan, di depan pertokoan, terminal, dan di bawah langit mana saja yang masih berbaik hati memperbolehkan kami untuk tidur hingga akhirnya kami terdampar di sini: di pojok gang sempit dan busuk ini! Tak terbilang juga berapa banyak kami harus menerima caci maki, amukan, sampai pukulan dari para pemilik kios yang merasa terhina jika depan kiosnya kami tiduri.
♣♣♣
Sampai juga aku di depan rumah. Yah, beginilah, Kawan. Rumahku tak semewah rumah kalian, atau paling tidak rumah yang di dalamnya ada ruangan khusus untuk tamu, untuk makan, memasak, juga untuk tidur. Lihatlah, rumahku hanya terbuat dari tumpukan kardus yang hanya bisa digunakan untuk tiudr, meski harus meringkuk. Yang terpenting bisa melindungi kedua adikku, Laras dan Senyum! Ya, melindungi mereka dari sengatan panas dan hujan, juga orang-orang jahat.

Dinding rumahku terbuat dari kardus-kardus bekas. Kira-kira tingginya satu meter dua puluh lima senti. Kardus itu aku tempelkan pada dinding kayu rumah salah satu warga gang sempit ini juga yang berdiri di sisi kanan dan kiri. Untunglah, mereka msih berbaik hati pada kami.

Lalu atapnya? Sama saja. Semua terbuat dari kardus! Kecuali jika kami sedang mujur. Ya, beberapa bulan lalu, aku dan Laras pernah menemukan sepotong triplek usang yang masih bisa digunakan. Laras menyuruhku untuk mengambil triplek itu agar dijadikan atap rumah. Tapi, tetap saja. Namanya juga barang usang. Ia pun tak bertahan lama, hanya dua bulan.

Lalu sekarang? Jika hujan turun, aku dan kedua adikku sudah menyiapkan plastik yang kami rekatkan satu sama lain untuk melindungi kardus-kardus kami agar tidak kebasahan. Tentu saja plastik bekas, Kawan. Tapi, kami juga sering kewalahan. Tidak jarang, kardus kami kalah diterjang hujan lebat dan banjir karena luapan got di persimpangan lorong yang berada tidak jauh dari rumahku. Walhasil, aku dan kedua adikku mau tidak mau tidur lagi di emperan jalan.
Lebar rumahku hanya satu meter kali satu meter setengah. Tak layak disebut rumah memang. Tapi, aku harus tetap bersyukur. Paling tidak ini lebih baik dari sebelumnya.

♣♣♣
Kulongok kedua adikku, mereka sudah tidur. Aku pun masuk dan duduk di sisi mereka.

“Senyum, banguun... Udah makan belum?” tanyaku pelan sembari mengoyang-goyangkan tubuh mungilnya yang meringkuk. Senyum adalah adikku yang paling kecil. Usianya sekitar enam tahun.

“Ras, bangun... Ini Mas bawa makanan enak. Ayoo bangun, nanti tidur lagi,” ujarku membangunkan adikku yang satu lagi.

Tak lama, Laras, adikku yang kedua pun terbangun. Sementara Senyum masih terlelap dalam kedinginan yang beku.

“Kita udah makan, Mas,” jawab Laras pelan. “Tadi... Laras dapet uang dari nyemir sepatu sama jual koran,” sambungnya sambil mengucek-ngucek mata.

Aku tertegun mendengarkan.

“Mas jangan marah dulu ya,” sambarnya ketakutan sembari menunduk tak berani melawan tatapanku. “Maaf Mas, bukannya aku nggak nurut sama Mas. Senyum udah laper banget tadi, tapi Mas Tawa nggak pulang-pulang juga. Jadi kita makan duluan, maaf ya Mas.... kita... kita... nggak nunggu Mas,” sambungnya pelan.

Aku masih menatapnya lekat-lekat. Ah, adikku, mengapa nasib kalian seperti ini. Hatiku teriris-iris melihatnya. Oh, Tuhan, jika aku boleh meminta, biarlah aku saja yang bernasib buruk, jangan mereka. Betapa aku sangat menyayangi mereka, Tuhan. Kupeluk erat Larasku. Kucium kening adikku yang berusia sekitar delapan tahun itu. Penuh cinta.

“Mas nggak marah koq Ras.....,” jawabku lirih sembari tetap mendekapnya. “Kamu nggak perlu minta maaf, yah....” Dadaku sesak, Kawan. Sesak melihat semua ini. Air mata sudah hampir tumpah. Tapi, aku tak mau air itu tumpah di depan Laras. Tidak!

“Mas yang salah, Ras... Mas yang belum bisa bahagiain kalian... tapi Mas janji, kita....” suaraku terbata-bata menahan air yang memaksa keluar. “kita... nggak akan begini selamanya... Mas janji, Ras... Mas janjii... Sekarang kamu tidur lagi, yah...,” kukecup sekali lagi keningnya.

Juga kening Senyum, adik bungsuku. Tak lupa kuselimutkan mereka dengan sepotong baju milik almarhum Ibu. Ya, karena itulah satu-satunya harta yang bisa dijadikan selimut hati dan jiwa kami yang kerap kedinginan membeku. Ah Ibu, andai ibu ada di sini, setidaknya semua tak akan seberat ini, bu...

Aku tahu, ketakutan Laras. Bukan, bukan karena mereka tak menungguku saat makan, Kawan. Sungguh, bukan itu! Dulu--dulu sekali-- beberapa waktu setelah ibu pergi, aku memang pernah berpesan pada Laras agar tidak menggunakan hasil keringatnya untuk makan. Biar aku yang membiayai hidup mereka. Dengan begitu, hasil keringat Laras bisa ditabung untuk masa depannya, atau sesuatu yang mendesak. Meski aku sadar, aku belum tentu sanggup melakukan itu, Kawan....
♣♣♣
Langit makin gelap. Namun, awan hitam tidak berhasil menutup celah pendar rembulan untuk bersinar. Benar. Cahayanya tengah malam itu begitu memesona. Semburatnya menghujam mendung yang bergelayut di angkasa. Menciptakan lukisan malam yang menggetarkan jiwa. Bentuknya pun bulat sempurna. Sayang, kesempurnaannya berlawanan tajam dengan hatiku. Bentuk hati ini tak lagi sesempurna itu. Akhirnya, air yang sejak tadi tertahan di sudut mataku pun tumpah! Ya tumpah! Aku tak kuasa lagi menahannya. Dorongannya untuk keluar begitu deras. Hatiku gerimis, dan terjadilah rinai di tengah malam itu.

Aku tahu, tubuh ini letih. Tak ada selera lagi untukku menyantap makanan yang sebenarnya jarang kami dapatkan. Tapi, mataku belum juga ingin terpejam. Perutku juga tak lapar. Pikiranku melayang-layang.

Di dekat pintu rumah, aku mematung. Menatap kedua adikku yang amat kusayangi terlelap. Kupandangi terus Laras. Tubuhnya begitu kurus tak terawat. Rambutnya berantakan. Robekan di bajunya pun tak lagi dapat kuhitung. Oh Tuhan, beri aku kekuatan, rintihku dalam hati berdoa pada yang Mahakuasa. Dalam sekejap, bertubi-tubi bingkai kepiluan menyergapku. Dulu—dulu sekali, sebelum kepergian ibu-- Laras pernah hampir dijual oleh bapak. Ya hampir! Sedikit lagi, dia sudah berada di tangan laki-laki tua yang memang kerjaannya menjual manusia. Wajah Laras memang ayu. Hanya saja tidak terurus. Beruntung. Ibu sempat memergoki bapak dan mengagalkan niat busuk itu setelah mencium gelagat bapak yang sangat mencurigakan. Meski akhirnya, aku dan kedua adikku harus kehilangan ibu untuk selamanya. Ibu geger otak karena perlakuan bapak dari hari ke hari.

Laras, masih panjang jalan yang hendak kautempuh. Tetaplah tegar seperti Laras yang aku kenal saat ini, bisikku dalam hati. Aku berjanji akan membuat hidupmu tak lagi menderita. Aku berjanji Laras!!

Pandanganku beralih pada si bungsu. Senyum, ah, Senyum. Betapa indah namamu. Nama yang dulu ibu berikan untukmu, tepat sebelum beliau pergi meninggalkan kita.... Nasibmu juga tak kalah pilu dengan Laras, Mbamu. Mozaik keperihan pun silih berganti memenuhi benak dan pikiranku. Megaduk-ngaduk perasaan dan emosiku. Tak terasa, gerimis di hatiku makin lebat! Darahku mendidih. Mozaik-mozaik itu.... mereka tak henti-hentinya menyerbu pikiranku.

Tak berbeda dengan Laras dan aku. Senyum pun berulang kali mendapat perlakuan kasar dari bapak. Tiada hari tanpa air mata. Dia kerap dipukul, disiksa, dan dimarahi habis-habisan oleh bapak. Senyum dipaksa bapak mengemis seharian. Jika tak mendapatkan uang yang diinginkan, bapak pasti marah besar dan dia dijamin tak dapat makan. Sungguh, hatiku pilu membuka luka-luka itu!! Padahal, usianya masih lagi muda: empat tahun! Senyum hampir celaka dibuat bapak.

Selalu tersenyum aku saat menyebut namamu, memandangmu, juga berada di dekatmu. Semoga hari-harimu benar-benar terus tersenyum, bahagia... Tak ada lagi air mata keperihan menetes dari matamu. Karena itulah tujuan Ibu mengubah namamu.... Aku akan menjaga mereka, bu.... Seperti pesan terakhirmu di bulan purnama.... Aku berjanji.

"Tak semudah itu kemiskinan menundukkanku. Mengobrak-abrik hidup dan nasibku!"

Diberdayakan oleh Blogger.

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

About Me

Foto saya
Perajut serpihan-serpihan aksara yang bergejolak dalam jiwa, bergolak, dan terserak dalam alam pikiran dan perasaan.