Rindu Hujan





Tahukah kau, aku begitu rindu… Sangat rindu. Rindu yang tidak bisa kujelaskan.. Rindu yang tidak dapat kuluapkan.. Rindu ini hanya bisa kunikmati sendiri. Hanya sendiri. Rindu ini hanya mampu bersemayam dalam relung hati yang tersembunyi. Ya, hanya mampu begitu. Entah sampai kapan… Seperti berada dalam lubang kecil yang tak bercelah. Terjebak dalam sesat yang teramat pekat. Terus berontak dan meronta-ronta. Ah, rindu ini… betapa menyiksa…

Kau tahu bukan, aku begitu menyukai hujan. Tapi, ia tidak datang. Kau juga tahu bukan, rinduku sedikit terobati jika memandangnya. Menyentuhnya. Menghirupnya. Merasakannya dengan segenap jiwa. Ah, tetapi ia tak juga bertandang. Oh, bagaimana ini...

Hujan. Sungguh, aku benar-benar membutuhkanmu...

Betapa tenang. Alangkah menenteramkan. Tahu kah kau, butiran-butiranmu yang membasahi bumi seakan ikut membasuh kalbuku yang kerontang. Melerai hati yang bertikai. Hembusan hawamu yang sejuk seperti mendamaikan jiwa yang gelisah. Meredam resah lantara rindu yang membuncah. Mengusap ragaku dengan sentuhanmu yang meneduhkan. Datanglah, untukku. Aku menunggumu.

Saat kau datang...

Meski cakrawala sendu, biarpun gemawan terlihat kelabu. Lihatlah, bunga-bunga menari dibuatmu. Pepohonan berayun riang. Rerumputan nampak tersenyum segar. Sunggguh, aku ingin seperti mereka… Kubentangkan tanganku. Kupejamkan mataku. Kubiarkan bulirnya menyentuh wajahku yang layu. Kubiarkan tetesannya mengaliri tubuhku yang kuyu. Biarlah.. biarlah.. Biarlah diriku kuyup dalam pelukannya… Demi menenangkan rindu yang terus menggelitar pada jiwa...

Drakula yang Manis [1]




[1]

“Gue masih di jalan, Za. Sekitar pukul sebelas baru sampai kos. Macet, niih… Iya, gue tahu. Hmm…. Iya, iya. Nggak ada apa-apa koq. Iya. Udah ya. ” ponsel pun ditutup dengan perasaan kesal.

Viona berbohong. Sebetulnya, dia sedang tidak terjebak macet. Dia justru tengah melangkah perlahan di sebuah trotoar. Dia baru saja keluar dari kantornya. Tepat pukul sepuluh malam. Tangan kirinya menjinjing lemas tas kerja berwarna cokelat, sedang tangan kanannya menggenggam ponsel yang sedari tadi tidak pernah dilepaskan sembari memeluk beberapa lembar dokumen yang mesti diperiksanya besok pagi. Kakinya melangkah lemas. Tubuhnya yang tak lagi berenergi seakan terus dipaksa berjalan.

Viona menghentikan langkah sesaat setelah menerima telepon dari Reza, sahabat dekatnya. Perhatian yang diberikan Reza malam itu justru membuat mood Viona semakin buruk. Pasalnya, dengan kondisinya saat ini, Reza justru banyak sekali bertanya. Membuat kepalanya bertambah pening. Viona mengambil napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya dengan berlebihan.

Beberapa hari terakhir adalah hari yang sangat melelahkan bagi Viona. Konflik batinnya dengan sang atasan dan beberapa tugas yang menumpuk membuatnya merasa tertekan. Apalagi, dia harus pulang selarut ini hampir setiap hari. Belum lagi dia mesti bekerja sebagai penulis lepas pada akhir minggu demi memuaskan hobinya. Tubuhnya seperti tinggal sebatang ranting yang sangat rapuh. Betapa mudahnya untuk dipatahkan menjadi beberapa bagian.

Gadis bertubuh ramping itu pun duduk di halte bus yang ditemuinya. Sejenak melepaskan penat yang menggelayuti otaknya. Meski dia tahu tidak semudah itu si penat pergi. Kini, dia tidak lagi sadar bahwa hari telah begitu larut.

“Hei, lihat saja, aku adalah pegawaimu yang paling cepat mengundurkan diri!!!” omelnya kesal. Matanya membeliak seperti hendak loncat dari kelopaknya. Napasnya naik turun tak beraturan. Jemari kanannya spontan memijit pelan pelipisnya yang terasa nyeri.

“Oh, beginikah bekerja di kota besar? Banyak sekali hal yang harus dikorbankan.” Bibir mungilnya digigit tanda putus asa. Lagi-lagi dia menghembuskan napas.

“Sepertinya aku tidak bisa lagi bekerja di tempat itu. Terlalu sulit… Tapi… aku harus bagaimana?” lagi-lagi Viona mendesah. Bahunya turun.

Bayang-bayang peristiwa tiga hari terakhir pun mondar-mandir di pelupuk matanya. Bagaimana atasannya merobek seluruh progress report yang telah dibuatnya dengan susah payah. Bagaimana dia mencoret merah seluruh naskah yang telah ditulisnya dan memintanya untuk mengerjakan ulang dalam waktu singkat.

“Haah, orang itu. Benar-benar bukan manusia!” umpatnya kesal.

“Apa dia tidak tahu aku mengerjakan semua itu sampai tidak tidur nyenyak selama satu bulan!”

Belum sembuh kekesalan mengingat bayangan yang satu, bayangan lain pun melintas. Viona teringat ketika atasannya tiba-tiba berada di belakangnya dan mendapati dirinya sedang asyik mengerjakan hal lain: menulis cerita!

Dia tersenyum dan terkekeh sendiri saat menentukan tokoh dan alur dalam dongengnya. Begitu larut dalam cerita yang dibuatnya hingga lupa diri. Jika kantuk menyerang, bukan segelas kopi yang diburunya, melainkan kotak tissue! Dia bergegas mengambil beberapa lembar tissue yang selalu tersedia di mejanya. Dalam beberapa menit, tissue putih itu sudah penuh terisi tulisan bertinta merah. Berlembar-lembar jumlahnya!

Melihat tingkahnya yang demikian, sang atasan sontak mengamuk lantaran pekerjaan yang sedang diburu target terbengkalai.

“Hoohh, benar-benar menyeramkan! Di dekatnya aku seperti tak bisa bernapas. Betul-betul menakutkan seperti drakula! Ya, drakula! Dia memang pantas disebut drakula!!”

Sesaat Viona terdiam. Pandangannya diedarkan ke sekeliling. Indra penciumannya mulai memburu udara yang kini mulai terasa dingin. Menghirupnya banyak-banyak agar dadanya tidak lagi terasa begitu sesak. Lalu dihempaskannya.

“Aku memang salah,” aku Viona jujur. “Tapi, apa tidak bisa dia menegurku dengan baik-baik dan ramah, hah??”

Gadis itu terus bicara sendiri. Dengan cara inilah kegelisahan yang menyesakkan dadanya paling tidak sedikit terlepas. Untuk kesekian kali, Viona mendesah. Ah, dia sungguh sangat kesal pada atasannya.

“Apa aku resign saja ya?” kali ini dia mulai berpikir untuk memutuskan.

Tapi, buru-buru ditepis, “Ooh, tidak, tidak, tidak! Sejak kapan aku jadi wanita yang lemah begini? sejak kapan aku gampang menyerah? sejak kapan aku mulai sering mengeluh? Ahh, aku harus bertahan! Ya, harus!!” sergahnya cepat.

“Hmm, tapi bagaimana…?”

Viona memiringkan sedikit kepalanya. Menyipitkan matanya. Keningnya mengerut. Bibirnya yang tipis sesekali digigit dan dimanyunkan. Lagi-lagi, dia menarik napas dalam-dalam, lalu dihempaskan semua. Telunjuk kanannya mulai memukul-mukul lembut pipinya.

Tiba-tiba saja suara klakson mobil menghamburkan lamunannya. Sebuah Livina silver berhenti tepat di depan tempat Viona berdiskusi dengan dirinya sendiri.

“Siapa?” batin Viona heran. Dia menoleh ke kanan dan kirinya. Tidak ada orang, pikirnya. Jantungnya mulai berdebar-debar. Hatinya mulai gusar. Menebak-nebak hal yang akan terjadi kemudian. Tak lama, sesosok lelaki bertubuh tegap turun dari mobil. Samar-samar Viona menatap laki-laki itu.

“Pak Danu!” ucapnya terkesiap.

“Vi, kamu gila jam segini masih di jalan?? Kamu nggak tahu jam berapa sekarang?" Lelaki yang mengenakan switer coklat itu memburu Viona dengan berbagai pertanyaan.

Viona hanya tersenyum kecut sembari menganggukan kepala. Apa urusannya, gumamnya sinis dalam hati.

“Masuk!” perintah Danu.

Viona bergeming. Masuk? Ke mobilnya? Ah, drakula itu bercanda. Dia pasti mau menghisap darahku! Hei, drakula, darahku sudah habis tak bersisa. Bukankah kau yang menghisap darahku semua, hah?? Lihatlah, tubuhku sudah begini kurus. Kau masih menyuruhku bekerja hingga hampir tengah malam!! Aku sudah hampir terlihat seperti tengkorak hidup, bukan?! Viona sibuk memprotes dalam pikirannya sendiri.

Ya dialah Danu Ardiansyah Daniel. Lelaki itulah yang sejak tadi dibicarakan Viona hingga berjam-jam duduk di tempat penghentian bus. Sikapnya yang dingin, perfeksionis, tapi kerap seenaknya dan tempramental sungguh membuat Viona tertekan. Dan kini, orang yang membuatnya kesal berada di depannya.

Melihat Viona masih tidak bergerak, Danu turun lagi dari mobilnya setelah sempat masuk. Dia lantas menarik tangan Viona,dan memaksanya masuk. Dia pun membukakan pintu mobilnya untuk gadis itu. Namun, belum sempat pintu mobil terbuka, Vionna menarik keras tangannya dari genggaman Danu.

“Maaf… Di kantor kita memang atasan dan bawahan. Tapi, di luar kita tidak ada hubungan professional. Jadi, Anda tidak berhak mengatur dan memerintahkan saya seenaknya!” Mata Viona menentang mata lelaki itu dengan penuh percaya diri.

Danu tidak merespons. Dia kembali menarik tangan Viona lalu membukakan pintu mobil untuk gadis yang baru saja memprotes tindakannya. Viona ingin memberontak, tapi tidak ada kekuatan untuk itu. Tidak ada lagi tenaga yang tersisa. Dan terpaksa dia menurut.

“Aku antar kamu pulang,” suara Danu memecah keheningan.

“Ah, tidak perlu. Saya turun di perempatan depan saja. Biar saya naik taksi.”

Danu tidak menjawab. Pandangannya menatap lurus ke depan. Mulutnya terkunci rapat. Lalu, dia menyodorkan beberapa bungkus roti yang baru saja dibelinya.

“Makanlah. Aku tahu kamu belum makan.”

Viona terkejut. Mengapa dia bisa tahu? Batinnya heran. Dan dia sendiri pun lupa jika perutnya belum diisi makanan sejak sore tadi.

Gadis itu hanya tersenyum kecut dan meletakkan kembali roti yang disodorkan tadi ke tempatnya.

“Tidak, terima kasih.”

Melalui jendela mobil, Viona menatap kerlap-kerlip lampu Jakarta di malam hari. Setiap gedung seakan berlomba tampil memikat dengan hiasan cahaya yang menghipnotis. Betapa dia baru menyadari bahwa terkadang, kota yang kejam ini pun memiliki sisi yang amat cantik. Viona menyunggingkan senyum. Tapi, tiba-tiba saja perutnya mulai terasa melilit. Aih, dia mulai meringis.

Mengapa tadi tidak kumakan saja roti pemberian si drakula. Ah dasar bodooh! Sesalnya dalam hati. Tapi, aku tidak mungkin memakannya setelah menolaknya tadi. Huh, mau taruh di mana mukaku! Tidak tidak tidak! Aku harus menahannya hingga sampai di rumah. Sisi hatinya yang lain menguatkan.

“Kau ini! Dalam kondisi begini masih saja menjaga gengsi.” Tanpa diketahui, Danu melihat gadis itu meringis menahan lapar. Danu mencoba menahan senyum geli.

“Eh, siapa yang gengsi? Siapa juga yang lapar? Aku sudah makan tadi.”

Hah, dia sudah berani meledekku! batin Viona. Ah, tidak. Dia memang ahlinya mengejek, memarahi, menyuruh, mengatur, dan semua yang membuatku stress. Orang itu benar-benar drakula!

[bersambung]

Menjemput Keberuntungan lewat Doa Ibu






Judul Buku : Sukses berkat doa Ibu
Penulis : Aang Abdul Qahar - Dewi Kournia Sari
Penerbit : Idealmahira (lini Almahira)
Jmlh hlm : 184
Harga : Rp. 45.000,-

Siapa pun tahu bahwa meraih kesuksesan tidak semudah membalikkan telapak tangan. Harus ada elemen-elemen pendukung demi mewujudkan harapan yang diinginkan. Sungguh, kesuksesan bukanlah kerja semalam. Ia adalah buah ikhtiar. Seorang Jenderal Purnawirawan Amerika, Collin Powell mengatakan “Sukses adalah hasil kesempurnaan, kerja keras, belajar dari kegagalan, kesetiaan, dan ketekunan.” Saya sepakat. Saya juga yakin bahwa banyak orang telah membuktikan hal tersebut dalam kehidupan mereka. Tapi, apakah hanya itu?

Tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian kita mengalami hal sebaliknya: kegagalan dan keterpurukan. Usaha yang dillakukan tidak kalah keras dengan mereka yang meraih kesuksesan. Pengorbanan pun tidak pernah berhenti diberikan. Namun, kegagalan demi kegagalan kerap datang silih berganti hingga berujung pada keputusasaan. Jika sudah demikian, tidak jarang kita menjadikan Allah swt sebagai “sasaran” kekecewaan. Kita sering beranggapan bahwa kegagalan adalah takdir Tuhan. Lalu memvonis bahwa kesengsaraan yang kita alami adalah kehendak-Nya. Tanpa disadari, kita telah menentukan takdir kita sendiri yang kita klaim sebagai takdir Allah swt.
Lantas, bagaimana???

Tahukah Anda, Allah swt tidak begitu saja “menceburkan” hamba-Nya ke dalam kubangan derita. Membiarkan kita sengsara tanpa memberikan “senjata" untuk keluar dari problema hidup yang ada. Satu hal yang terkadang kita lupakan bahwa kesuksesan adalah sebuah keberuntungan! Dan di dalam keberuntungan ada doa ibu.

Berhentilah sejenak dari rutinitas. Selagi beliau masih bersama kita, sisakan saja sedikit waktu untuk memandang dan memperhatikan wajahnya. Sebentar saja. Lihatlah, betapa banyak perubahan fisik yang dialaminya; rambutnya, kulitnya, dan kekuatannya. Resapilah, betapa banyak pengorbanan yang telah dilaluinya hanya untuk menjadikan kita, sambungan jiwanya menjadi orang yang bisa membuatnya tenang saat ajal tiba. Pandailah ia lekat-lekat. Tanyalah hati kita: sudah berapa banyak kebahagiaan yang kita berikan untuknya? Berapa banyak kebahagiaannya yang “terampas” demi kita, jantung hatinya. Namun, hingga kondisi demikian, adakah semua itu mengurangi cintanya pada kita?

Jika hidup kita tak kunjung bahagia, adakah lisan kita pernah menyakitinya? Andai kata hidup kita tak pernah lepas dari marabahaya, adakah sikap kita yang selalu membuatnya kecewa? Bila mana hidup kita senantiasa dinaungi kesukaran, mungkinkah kita tak pernah meminta restunya?

Banyak hal yang akan Anda temukan dalam buku ini, selain keutaman seorang ibu. Perjuangannya demi anak-anak yang sangat dicintainya pun akan menemani Anda menyusuri lembar demi lembar buku ini. Juga alasan mengapa harus doa ibu yang –bisa dikatakan—memiliki andil cukup besar dalam kehidupan anak-anaknya kelak. Singkaplah secepatnya kabut hitam yang selama ini menyelimuti hidup Anda. Jemputlah segera keberuntungan Anda lewat restu dan doanya.

Diberdayakan oleh Blogger.

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

About Me

Foto saya
Perajut serpihan-serpihan aksara yang bergejolak dalam jiwa, bergolak, dan terserak dalam alam pikiran dan perasaan.