Si Pambayun




Maksud hati ingin memeluk gunung, apa daya tangan tak sampai. Sepertinya, peribahasa itulah yang sesuai untuk para pambayun di seluruh penjuru nusantara, tidak pandang yang berada di desa atau di kota. Para pambayun yang mau tak mau, mutlak untuk takluk pada pilihan hidup yang bersifat skala prioritas.

Dengan keterbatasan yang mengkungkungnya, dia harus mengugurkan impian yang sejak dulu menembus relung hatinya, tertancap dalam sanubarinya. Memilih satu dari dua pilihan yang baginya tidak mampu dilakukan, tetapi harus tetap dijatuhkan, mau tak mau. Suka atau tidak suka.

Di suatu sore yang indah, di pinggiran kota metropolitan, matahari mulai kembali ke peraduannya. Sinarnya yang masih memancar menambah kemegahan lukisan langit karya Maestro Terhebat.

Di ujung jalan, kulihat seorang bapak tertatih-tatih berjalan pulang sembari menggenggam beberapa karung beras di tangannya. Aku taksir usianya sekitar 55 tahun. Namun, tubuhnya terlihat tegap dan gagah. Di pundaknya masih tertumpu beberapa barang rongsokan yang diambilnya dari pinggir-pinggir jalan, atau mungkin dari tumpukan-tumpukan sampah di perumahan. Pakaiannya sangat sederhana, hanya kaus oblong berwarna coklat tua dan bercelana kain yang kurang lebih berwarna sama. Alas kakinya pun sendal jepit yang berlainan warna, bukan pasangannya. Dan ternyata, di pinggiran kota yang tak pernah mati itulah bapak tersebut tinggal bersama ketujuh putra dan seorang istrinya.

Kuperhatikan dia dari jauh. Ternyata, rumahnya bersebelahan dengan tempatku berdiam diri saat itu: di sebuah warung kecil milik Bu Mira. Tempat tinggalnya sangat mungil dan sederhana, sungguh sederhana karena hanya terbuat dari susunan triplek bekas dan tipis. Hanya satu ruangan dalam rumah itu. Seluruhnya bisa terlihat dari tempatku. Bisa kuartikan tempat itu tak layak untuk tinggal.

Namun sepertinya, mereka tak peduli. Senyum keluarga itu tak pernah sirna karena kemiskinan. Sebelum masuk, sang bapak tersenyum ramah padaku. Aku pun membalasnya dengan ramah pula.

Sembari menunggu temanku yang sedari tadi belum juga datang, kuperhatikan keluarga bapak tersebut dari tempatku berada, tentu saja dengan diam-diam.

“Bapak pulaaaang, Bapak pulaaaang,” sambut anak-anaknya riang setelah melihat bapak mereka memasuki rumah.

Ah, indahnya, gumamku dalam hati. Kejamnya hidup tak melunturkan tawa dan keriangan mereka. Namun, wajah bapak itu terlihat pucat. Kesedihan tersurat jelas di parasnya yang tampak menua. Mungkin, dia terlalu letih karena telah berjalan jauh. Tak diresponsnya sambutan anak-anak. Dia pun terkulai di atas sebuah kursi reyot di sudut ruangan. Tak lama kemudian, istrinya muncul menyuguhkan segelas teh yang diletakkan di sebuah meja di sudut rumah.

Belum juga menenggak teh buatan sang istri, bapak berbaju cokelat itu keluar dan duduk di pelataran rumahnya, di sebuah bangku hijau panjang, tepat sejajar denganku. Dia termangu. Sendirian. Anak-anaknya berhamburan keluar rumah. Masih bersorak-sorai memanggil-manggil bapak mereka. Aneh, sang bapak tetap membatu. Dengan penuh kelembutan, dimintanya semua anak masuk rumah.

Kemudian, sang bapak memanggil salah seorang putranya, Indra. Lalu, terdengarlah percakapan di antara mereka, “Ndra, mulai besok kamu bantu Bapak kerja ya. Mencari barang-barang bekas untuk kita jual,” ujar sang bapak.

“Tapi, Pak, besok ada pengambilan rapor di sekolah,” jawab Indra bersemangat, “Kata Bu Nani, wali kelas Indra, nilai UN Indra terbesar, Pak,” kisahnya bahagia. “Emm, begini saja,” usul Indra yang sepertinya tak ingin mengecewakan bapaknya, “Setelah Bapak ambil rapor, Indra janji bantu Bapak cari uang, ya? Indra mau bantu Bapak, meski harus sampai malam kok, gimana, Pak?” tawarnya.

“Ga bisa. Pokoknya, besok kamu harus ikut Bapak kerja!! Tak usahlah diambil rapormu itu,” bentak sang bapak tiba-tiba.

“Tapi, Pak...,” ujar Indra menimpali, “Bagaimana aku bisa melanjutkan sekolah jika raporku tidak diambil? Aku ingin masuk SMU unggulan, Pak. Kata Bu Nani, aku bisa masuk karena nilaiku sangat istimewa.”

“Tidak perlu kamu ambil rapormu,” hentak sang bapak untuk kali kedua. kali ini, wajahnya merah padam, “Kamu tidak dengar? Bapak kan sudah bilang, kamu tidak akan melanjutkan sekolahmu lagi. Titik!”

Kulihat Indra tertegun. Segurat kekecewaan mulai nampak di wajahnya yang menyimpan dalam-dalam hasrat melanjutkan sekolah.

“Aku ingin jadi insinyur, Pak,” ucap Indra lirih, “Aku ingin bangunkan rumah megah untuk Bapak Ibu dan adik-adik. Aku tak punya hati meihat Bapak setiap hari tidur di depan pintu rumah, dan Ibu kedinginan tiap malam.”

“Nah, itu. Jika kamu tidak tega dengan Bapakmu ini, kamu harusnya bantu Bapakmu ini cari duit. Jangan bisanya hanya menghabiskan duit!!” Kulihat Indra diseret masuk ke rumah. Dimarahinya dia habis-habisan. Meski tak terlihat olehku, tetapi suara mereka terdengar jelas hingga keluar.

“Tidak tahu diri. Masih untung kamu sekolah. Asal kamu tahu,” teriak bapak itu, “Bukan hanya kamu saja yang ingin sekolah! Kamu juga harus memikirkan nasib adik-adikmu. Kebutuhan kita yang lain, kayak, makan, bayar listrik, beli susu untuk adikmu Wina, sekolah Rizal, Bima, Irma. Kalau kamu sekolah sampai jadi insinyur, sampai tinggi, adik-adikmu tidak akan bisa sekolah!! Harusnya, sebagai anak pertama, kamu itu ngerti kesusahan orangtua??!! Memang kamu kira penghasilan Bapakmu ini banyak apa, hah?! Banguuuuun, jangan mimpi terlalu tinggi, kamu!!”

Sayang, aku tak bisa melihat kelanjutan percakapan mereka. Temanku sudah datang menjemput. Itu artinya aku harus segera pergi. Sungguh, tidak sedikit para pembayun yang bernasib demikian. Dia dibelenggu oleh kebutuhan yang sepertinya tidak pernah berhenti dan senantiasa datang silih berganti. Secara tak langsung, dia dipasung oleh tanggung jawab yang wajib ditunaikannya; ‘dipaksa’ berbagi kehidupan dengan saudara-saudara kandungnya yang lain, lalu mau tak mau membuang hasrat yang telah lama terpatri dalam lubuk hatinya. Dalam hal ini, bukan hanya berbagi makanan, minuman, tempat tidur, atau ruang untuk melindungi diri dari panas dan dingin, gelap dan terang, melainkan berbagi masa depan.


Indra adalah secuil pembayun yang berusia muda yang dituntut untuk mengerti sesuatu yang belum waktunya untuk dimengerti. Jangankan menghidupi adik-adik dan orangtuanya, untuk dirinya sendiri pun terkadang dia dilanda kebingungan. Tidak tahu harus berbuat apa.


Tak jarang, aku angkat topi untuk para sulung yang berhasil menapaki tajamnya hidup dengan keringatnya sendiri. Tanpa uluran tangan saudara atau mengemis belas kasih dari orang lain. Berpayah-payah dan memeras keringat demi menafkahi keluarga, lalu mengambil alih tugas ayah bunda yang renta atau bahkan telah tiada. Terlebih, jika si sulung itu seorang wanita dan beradik tidak lebih dari tiga.


Karenanya, tidak salah jika tidak sedikit para pembayun yang berkarakter keras, bertanggung jawab, dan dewasa. Hiduplah yang mendidik mereka menjadi orang-orang yang tangguh dan kuat. Kesulitanlah yang membentuk mereka menjadi orang hebat dan dahsyat. Tak cepat putus asa dan menyerah, meski mereka kerap kalah. Merekalah orangtua kedua bagi adik-adik mereka, setelah orangtua dalam arti sesungguhnya: ibu bapak. Tak bisa dimungkiri, seringkali mereka bertanggung jawab atas masa depan dan kebutuhan saudara mereka, layaknya orangtua.


Lalu, Andakah si pembayun itu? Atau bukan pembayun, tetapi berbagi masa depan dengan saudara, memikul tanggung jawab, tidak hanya untuk diri sendiri, melainkan untuk saudara dan orang tua? Jika iya, aku tetap salut pada Anda.

Category: 5 komentar
Diberdayakan oleh Blogger.

You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

About Me

Foto saya
Perajut serpihan-serpihan aksara yang bergejolak dalam jiwa, bergolak, dan terserak dalam alam pikiran dan perasaan.